Makalah METODOLOGI STUDI ISLAM Macam – Macam Istilah Hadis, Posisi dan Fungsi Hadits, serta Pendekatan Memahami Hadis

METODOLOGI STUDI ISLAM

Macam – Macam Istilah Hadis, Posisi dan Fungsi Hadits, serta Pendekatan Memahami Hadis

DisusunOleh :
Sandi Irawan               : NIM : 14.41.015957
HelmiGunawan : NIM : 14.41.015406

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
KALIMANTAN TENGAH
2014

  BAB II

PEMBAHASAN
A.    BEBERAPA ISTILAH SEPUTAR HADIST
1.      Pengertian Hadist
Pada garis besarnya pengertian hadis dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologis).
Dilihat dari pendekataan kebahasaan, Hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam – macam.Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al – asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik.Penggunaan kata al-hadist dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadist al-bina ­dengan arti jadid al-bina artinya bangunan baru.
Selanjutnya, kata al-hadist dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat.
 Untuk ini kita dapat melihat contoh hadist al-‘abd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk islam.Kata al-hadist kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutabaddast bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang di perbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti al-hadist tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang di perbincangkan atau al-hadist ­dalam arti al-khabar.[1]
Hadist dengan pengertian al-khabar ini banyak dijumpai pemakaiannya didalam Al-Qur’an.Kita misalnya menjumpai ayat-ayat yang mengandung kata al-hadist ­–alam arti al-khabar berikut ini.
Artinya : “ Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-Qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar.”(Q.S. Al-Thur [52] : 34), Sedangkan menurut Istilah (terminology), para ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian

[1].Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam (Jakarta, 12 April ) hal. 234
hadismenurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang di berikan oleh ahli hadis.Menurut ahli hadis, pengertian hadis ialah : “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Saw yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[2]
Dalam hal itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadis adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw, yang berkaitan dengan dengan hukum. Sementara itu ulama ahli fiqih mengidentifikasikan hadis dengan sunnah, yaitu sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat bahwa hadis adalah sifat syar’iyah untuk perbuatan yang di tuntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan pelaksanaannya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.[3]

2.      Istilah – Istilah Hadist
Dalam literatur hadis di jumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan Al-Hadist, seperti Al-Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Atsar. Dalam arti Terminologi, ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadist adalah sama dengan terminology Al-Hadist, meskipun ulama lain ada yang membedakannya.[4]
Istilah-istilah hadis sebagai berikut :
a)      Al-Hadis
Menurut Ahli bahasa, Al-Hadist adalah Al-Jadid (Baru), Al-Khabar (Berita), Al-Qarib (Dekat), Hadist dalam pengertian Al-Khabar dapat di jumpai di antaranya dalam surat Al-Thur [52] ayat 34, Surat Al-Kahfi [18] ayat 6, dan surat al-dhuha [93] ayat 11.
b)      Al-Sunah
Pengertian etimologi adalah jalan dan cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau yang jelek. Al-Sunnah dalam pengertian etimologi, dapat dilihat dalam

[2] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal : 2
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam (Jakarta, 12 April ) hal. 236
[4] DRS. ATANG ABD. HAKIM, MA. DR. JAIH MUBAROK, METODOLOGI STUDI ISLAM,( Cipadung, November 1999).Hal ; 83 dan 84
Al-Qur’an surat Al-Kahfi [18] ayat 55; Surat Fathir [35] ayat 43;Surat Al-Anfal [8] ayat 38; Surat Al-Hijr [15] ayat 3; dan surat Al-Ahzab [33] ayat 38 dan Ayat 62.Adapun pengertian Al-Sunnah secara istilah (Terminologi), seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajaj Al-Khatib (1981: 89), adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi Rasul.
c)      Al-Khabar dan Al-Atsar
Secara bahasa berarti Al-Naba (Berita); sedangkan Al-Atsar bearti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai’). Arti terminology Al-Khabar dan Al-Atsar, menurut jumhur ulama, memiliki arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw, sahabat, tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, Al-Atsar hanya untuk yang mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan Al-Khabar untuk yang marfu’ (disandarkan kepada nabi). Oleh karena itu, baik al-hadist, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu’, mauquf, dan maqthu’ (Disandarkan kepada tabi’in).[5]
Terhadap ke-empat pengertian istilah di atas –Al-Hadist, al-Sunnah, Al-Khabar, Al-Atsar- terutama aspek makna terminologinya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan bahwa Al-Hadist adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw; sedangkan Al-Sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad Saw, tetapi juga sahabat dan Tabi’in.Adanya perbedaan makna terminologi keempat istilah diatas, menurut Fathurrahman (1974: 28), tidaklah prinsipil.
d.      Hadis Qudsiy
Rasulullah Saw, kadang menyampaikan kepada para sahabat nasehat-nasehat dalam bentuk wahyu, akan tetatapi wahyu tersebut bukanlah bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah yang biasa disebut dengan Hadis Qudsiy atau sering disebut juga dengan hadis Ilahy atau Hadis Rabbany.Yang dimaksud Hadis Qudsiy, yaitu : “Setiap hadis yang Rasul menyandarkan perkataannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”[6]


[5] DRS. ATANG ABD. HAKIM, MA. DR. JAIH MUBAROK, METODOLOGI STUDI ISLAM,( Cipadung, November 1999).Hal :85
{6] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal : 16
Pengertian yang lain yang semakna dengan pengertian diatas adalah : “Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.”
Jumlah hadis Qudsiy ini menurut Syihab Al-Din ibn Hajar Al-Haytami dalam “Kitab Syarah Arba’in Al-Nawawiyah”tidak cukup banyak, yaitu berjumlah lebih dari seratus hadis.

Hadis Qudsiy ini biasanya bercirikan sebagai berikut :
a.       Ada redaksi hadis qala/ yaqulu Allahu
b.      Ada redaksi fi ma rawa/yarwihi ‘anillahi tabaraka wa ta’ala
c.       Dengan redaksi lain yang semakna dengan redaksi di atas, setelah selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat. Bila tidak tidak ada tanda-tanda demikian, biasanya termasuk hadis Nabawi.
Perbedaan hadis Qudsiy dengan Al-Qur’an :
1.      Semua lafazh Al-Qur’an adalah mutawatir, terjaga dari perubahan dan pergantian karena ia mukjizat, sedang hadis Qudsiy tidak demikian.
2.      Ada larangan periwayatan Al-Qur’an dengan makna, sementara hadis tidak;
3.      Ketentuan hukum bagi Al-Qur’an tidak berlaku bagi hadis Qudsiy, seperti larangan membacanya bagi orang yang sedang berhadas, baik kecil maupun besar;
4.      Di nilai ibadah bagi yang membaca al-qur’an, sementara pada hadis qudsiy tidak demikian;
5.      Proses pewahyuan ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna dan lafazh yang jelas-jelas dari Allah, sedangkan hadis qudsiy maknanya dari Allah sementara Lafazhnya dari Nabi sendiri.
3.      Bentuk – Bentuk Hadist
a)      Hadist Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.Yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya. Contoh hadistnya yang artinya : “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al-Kitab”.(HR.Muslim).[7]


{7] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal : 18
b)      Hadist Fi’il
Dimaksud dengan Hadist Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.Seperti hadist tentang shalat dan haji. Contoh hadist Fi’li tentang sholat adalah sabda Nabi Muhammad Saw. Yang berbunyi : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.(HR.Bukhari)
c)      Hadist Taqriri
Yang dimaksud dengan hadist Taqriri, adalah segala hadist yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw. Terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi Muhammad Saw. Membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
Diantara contoh Hadist Taqriri, ialah sikap Rasul Saw. Membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya, yang berbunyi : “Janganlah seorang pun shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraizah”.
Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat ‘ashar pada waktunya.Sedang segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan perlunya segera menuju Bani Quraizhah          dan jangan santai dalam peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya.Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi Muhammad Saw.Tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
d)     Hadist Hammi
Hadist yang dimaksud dengan hadist Hammi adalah hadist yang berupa hasrat Nabi Muhammad Saw.Yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat Ibn Abbas, disebutkan yang artinya : “Ketika Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari  ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata : Ya Nabi ! hari ini adalah hari yang di agungkan oleh orang-orang yahudi dan Nasrani. Nabi Saw bersabda : Tahun yang akan dating insya’ Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”.(HR.Muslim).[8]


{8] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal : 19,20,21
Nabi Muhammad Saw belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura.Menurut Imam Syafi’I dan para pengikutnya, bahwa menjalankan hadist hammi ini di sunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.
e)      Hadist Ahwali
Yang dimaksud hadist Ahwali ialah hadist yang berupa hal ihwal Nabi Muhammad Saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. Tentang keadaan fisik Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa hadist di sebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra’ dalam sebuah hadist riwayat Bikhari, yang artinya sebagai berikut : “Rasulullah Saw adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.(HR.Bukhari)
Hadist yang lainnya disebutkan, yang artinya :
“Berkata Anas bin Malik: Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Rasulullah Saw juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasulullah Saw.”(HR. Bukhari)[9]
4.      Unsur – Unsur Hadis
a)      Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran.Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya.Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Budru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah : “Berita tentang jalan matan”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid, dan  al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.[10]
Kata Al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat.Yang dimaksud di sini, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadist ila qa ilih atau ‘azwu hadist ila qa ilih).Menurut Al-Thirby sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad di gunakan oleh para ahli hadist dengan pengartian yang sama. Kata al-musnad mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadis yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa

{9] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal :22
{10] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal : 45
berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti kitab Musnad Ahmad; bisa juga berarti nama bagi hadist yang marfu’ dan muttasil.
b)      Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairtafa’ a min al-ardhi (tanah yang meninggi).Sedangkan menurut istilah adalah “Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”.
Ada juga redaksi yang lebih simple lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad).Dari pengertian di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafazh hadist itu sendiri.
c)      Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadis).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat di pisahkan.Sanad-sanad hadist pada tiap-tiap tabaqahnya, juga di sebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadist.Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis.Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, di sebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadis).[11]
B.     Posisi dan Fungsi Hadist
1.      Posisi / kedudukan Hadist
Posisi Hadis sebagai sumber hukum islam[12]
Umat islam sepakat bahwa hadist merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Dalam Al-Qur’an, umpamanya, disebutkan dalam surat al-Nisa [4] ayat 59, Surat al-Ma’idah [5] ayat 92, dan surat al-Nur [24] ayat 54.
Adapun dalil hadist adalah Sabda Nabi Saw ketika beliau hendak mengutus mu’adz bin jabal ke Yaman. Inti hadist tersebut adalah Nabi bertanya kepada Mu’adz dalam hal penetapan hokum. Saat itu Mu’adz menjawab bahwa dia akan

{12] Dr. H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis,(Jakarta, 30 Juni 2001), Hal :49
menetapkan hukum  berlandaskan urutan Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad. Hadist di pergunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum didalam Al-Qur’an.Sedangkan Ijtihad digunakan jika tidak ditemukan ketetapan hokum, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist.Mendengar jawaban Mu’adz, Nabi Saw menepuk-nepuk bahu Mua’adz sebagai tanda persetujuannya. (Abu Dawud bin Sulaiman bin Al-Asy’ari al-Sijistani, t.th: 302)
Dalam hadist lain, Nabi saw bersabda:”Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya apabila berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Al-Hadist). “Jalanilah sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang mendapat petunjuk serta pegang teguhlah kedua sunnah itu. (Abu Dawud bin Sulaiman bin Al-Asy’ari al-Sijistani, t.th: 281).
Lafadz Athi’u al-rasul (Ta’atilah Rasul) dalam al-Qur’an (QS. Ali Imaran [3]:32 dan 132; Al-Nisa [4]: 59; al-Anfal [8]: 1, 20, dan 46), dan lafadz fa rudduh ila Allah wa al-rasul (Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul)( QS. Al-Nisa [4]: 59), memberikan pengertian tentang kewajiban menaati sekaligus menjalankan apa yang dibawa oleh Rasul, yaitu hadist. Dengan demikian, hadist menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an.
Keberadaan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, selain ketetapan Allah yang di fahami dari Ayat-Nya secara tersirat, juga merupakan ijma’ (Konsensus) seperti terlihat dalam prilaku para sahabat. Misalnya, penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam Sholat, seperti yang di lakukan Nabi Muhammad Saw. Begitu juga, Umar bin Khathab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul. Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia berkata, “Saya tahu engkau adalah batu.Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu.” Janji Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia ikrarkan ketika disumpah (bai’ah) menjadi khalifah. Itulah sebagian contoh dari ijmak.[13]
2.      Fungsi Hadis
Menurut T.M. Hasybi Al-Shiddieqi –sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994: 111 – 128)–fungsi hadist terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (Al-Bayan).

{13] DRS. ATANG ABD. HAKIM, MA. DR. JAIH MUBAROK, METODOLOGI STUDI ISLAM,( Cipadung, November 1999).Hal :86
Mereka kemudian membagi Al-Bayan kepada beberapa kategori sesuai dan mengikuti kategorisasi yang diajukan oleh ulama salaf. Malik bin Anas dan Al-Syafi’i menyebut lima kategori, sedangkan Ahmad bin Hambal menyebutnya empat kategori. Lima kategori Al-Bayan menurut ulama yang di sebut pertama ialah bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-basth, dan bayan al-tasyri’.Lima kategori al-bayan menurut ulama kedua ialah bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan  bayan al-naskh. Adapun empat kategori menurut ulama terakhir ialah bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshis.
Fathurrahman (1974: 65-68) “tampaknya” menyimpulkan penjelasan serta kategori al-bayan ke dalam tiga hal: pertama, hadis berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-taqrir versi imam malik dan ­bayan al-ta’kid ­versi Ahmad bin Hambal. Contohnya, ada kewajiban berpuasa jika melihat bulan (QS. Al-Baqarah [2]: 185) lalu di kuatkan dengan hadist yang di sampaikan oleh Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi (1992: 481) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda,”Berpuasalah; jika kamu melihat bulan; dan berbukalan, jika melihatnya.”
Hadis berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq.Di samping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan (tahkshish) terhadap ayat-ayat yang berdifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi imam Syafi’I dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir.Contohnya dalam sabda Nabi Muhammad berikut: “Sholatlah seperti halnya engkau melihat aku sholat”.
Hadist berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam Al-Qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ –versi Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal. Contohnya hadis yang menerangkan tidak dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan.





{14] DRS. ATANG ABD. HAKIM, MA. DR. JAIH MUBAROK, METODOLOGI STUDI ISLAM,( Cipadung, November 1999).Hal :87 dan 88
C.    PENDEKATAN MEMAHAMI HADIST
1.      Pendekatan Bahasa
Persoalan pemahaman makna hadits tidak dapat dipisahkan dari penelitian matan.Pemahaman hadits dengan beberapa macam pendekatan ternyata memang diperlukan.Salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena bahasa arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan berbagai hadits selalu dalam susunan yang baik dan benar.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadits dilakukan apabila dalam sebuah matan hadits terdapat aspek- aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metafora) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.
Artinya :“ sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian lainnya, dan jari jemarinya berjalinan.”( H.R. Muslim dari Abu Musa)
Artinya :“sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya.”(H.R. at turmudzi dari Abu Musa Al asy’ari)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits Nabi sebagai suatu ucapan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal, memiliki unsure keindahan bahasa yang tersimpul dalam susunan redaksinya yang mengandung unsure balaghoh yang merupakan titik pangkal penilaian keindahan bahasa.[15]
2.      Pendekatan Historis
Pendekatan Historis dalam memahami hadits adalah memahami hadits dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits. Pemahaman hadist dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya dlam memahami hadits tentang hokum rajam, sebagai salah satu produk hokum islam yang sampai saat ini masih dianggap perlu untuk diberlakukan menurut sebagian fuqaha. Penetapan hokum rajam hanya dijumpai dari hadits yang diberlakukan bagi pelaku zina muhsan. Contoh hadisnya ialah:Artinya :“Telah menceritakan kepadaku (Imam al Bukhori) Isma’il ibn Abdullah. Ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan kepadaku yang ia terima dari Nafi; dan Nafi’ ini menerima dari Abdullah ibn ‘umar r.a. yang berkata bahwa sekelompok orang Yahudi datang kepadaRasulullah SAW. Sambil menceritakan

[15] Ali, Nizar. MemahamiHadis Nabi( metode dan pendekatan).2001. Yogyakarta : CESaD YPI Al Rahmah.
 (masalah yang mereka hadapi) bahwa seorang laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka;” Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai hokum rajam?”, Mereka menjawab; “kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian Abdullah ibn Salam berkata:” Kamu semua berdusta, sebab kitab Taurat itu ada hokum rajam. Ambillah kitab Taurat!”, Dan Mereka menggelar kitab Taurat untuk dibaca, tetapi salah satu diantara mereka meletakkan telapak tangannya tepat diatas ayat rajam dan dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja, Kemudian Abdullah ibn Salam berkata lagi: “Angkat tanganmu”. Lalu orang itu mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam. Selanjutnya mereka mengatakan:”Benar ya Muhammad bahwa dalam kitab Taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hokum rajam tersebut…..”(H.R.Bukhori)
3.      Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadits Nabi adalah memahami hadis nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadits.
4.      Pendekatan sosio-historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis-hadis dengan melihat sejarah social dan setting social pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan sosio-historis ini dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin.
5.      Pendekatan Antropologis
Pemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan.[16]
Jika rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan pendekatan antropologis, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau juga

[16] Ali, Nizar. MemahamiHadis Nabi( metode dan pendekatan).2001. Yogyakarta : CESaD YPI Al Rahmah.
diperlukan pendekatan serupa. Sebagai contoh memahami hadis nabi denganpendekatan antropologis adalah pemahaman hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis Nabi menyatakan:
Artinya :“ Dari Abdullah bin Mas’ud berkata:” saya mendengar Nabi SAW bersabda: “ sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dihadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis.
Banyak hadis Nabi yang menjelaskan larangan melukis makhluk yang bernyawa karena kelak di hari kiamat dituntut untuk memberi nyawa kepada lukisannya tersebut. Ada juga yang menyebut bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang didalamnya ada lukisan bernyawa.
6.      Pendekatan psikologis
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis dalam memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi SAW dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.Contoh:
Artinya : “ Mereka para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, amalan islam yang manakah yang lebih utama?” beliau menjawab: “ yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan tangannya.
Artinya :“Bahwa rasulullah SAW ditanya (oleh seseorang): Amal apakah yang paling utama?” beliau menjawab “ beriman kepada Allah dan RasulNya. “ ( beliau) ditanya lagi: “ kemudian apa lagi,” Beliau menjawab, “ haji yang mabrur”.[17]




[17] Ali, Nizar. MemahamiHadis Nabi( metode dan pendekatan).2001. Yogyakarta : CESaD YPI Al Rahmah.


DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. MunzierSuparta, M.A, IlmuHadis (Jakarta, 30 Juni 2001)
Prof. Dr. H. AbuddinNata, M.A, MetodologiStudi Islam (Jakarta, 12 April)
DRS. ATANG ABD. HAKIM, MA. DR. JAIH MUBAROK, METODOLOGI STUDI ISLAM,(Cipadung, November 1999).
Ali, Nizar. MemahamiHadisNabi(metodedanpendekatan).2001. Yogyakarta :CESaD YPI Al Rahmah.
 
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMORI FOTO

http://picasion.com/

Pengunjung

Isi Blog Saya

TERJEMAHAN

Mengenai Saya

Foto saya
Sukamara, Kalimantan Tengah, Indonesia
Hai, Saya Sandi Irawan. Saya Berasal Dari Desa Sungai Tabuk, Kec. Pantai Lunci, Kab. Sukamara, Kalteng. Saya Menyelesaikan Pendidikan di SDN 1 Sungai Tabuk, MTs Darul Ulum Sungai Tabuk, SMAN 1 Pantai Lunci Dan Selesai Kuliah di Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Palangkaraya.

Kalender Masehi Dan Hijiriah




Kritik dan Saran

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog

Postingan Terbaru

DUKUNG SAYA

Tonton Video Saya Like dan Komentar Serta share KLIK YOUTUBE SAYA Terima Kasih Anda Sudah Berkunjung.