Sistem Pewarisan
(Buku Hukum Perdata Indonesia, Karya : Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H )
1. Perwarisan Menurut KUHPdt
KUHPdt tidak membedakan antara
anak laki – laki dan anak perempuan
antara suami dan istri. Mereka berhak mewaris dengan mendapat bagian yang sama.
Bagian anak laki – laki sama dengan bagian anak perempuan. Bagian seorang istri
atau suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem
keturunan, KUHPdt menganut sistem keturunan bilateral. Setiap orang itu
menghubungkan dirinya kedalam keturunan ayah ataupun keturunan ibunya. Artinya,
ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari
ibu jika ibu meninggal.
Apabila dihubungkan dengan sistem
pewarisan, KUHPdt menganut sistem pewarisan individual. Artinya, sejak terbuka waris
( pewaris meninggal ), harta warisan ( peninggalan ) dapat dibagi-bagi
pemilikannya antara para ahli waris. Setiap ahli waris berhak menuntut bagian
warisan yang sama yang menjadi haknya.
Dengan demikian, sistem perwarisan
yang dianut oleh KUHPdt adalah sistem perwarisan individual bilateral. Artinya,
setiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian
yang sama yang menjadi haknya, baik harta warisan dari ibunya maupun harta
warisan dari ayahnya.
2. Pewarisan menurut hukum adat
Hukum perwarisan adat masih sulit
memperoleh ketentuan yang seragam karena masih dipengaruhi oleh bermacam garis
keturunan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Bermacam garis
keturunan ini menimbulkan bermacam corak pula sitem pewarisan, yaitu sistem
pewarisan individual, kolektif, dan mayorat yang masing – masing mempunyai ciri
tertentu, yaitu :
- Sistem pewarisan individual (perseorangan)
Adalah sistem pewarisan yang memperoleh bagian harta warisan
didasarkan pada individu atau orang perseorangan. Setiap ahli waris memperoleh
bagian harta warisan untuk secara bebas dimiliki, dikuasai, dinikmati sendiri,
diusahakan, atau dialihkan kepada pihak lain. Sistem pewarisan individual
(perseorangan) terdapat pada kelompok masyarakat parental (bilateral), seperti
di Jawa; sedangkan kelompok masyarakat patrilineal, seperti di Sumatra Selatan,
Sumatra Timur, dan Aceh.
- Sistem pewarisan kolektif
Adalah sistem pewarisan yang mengalihkan harta warisan kepada ahli
waris kerabat sebagai kesatuan yang tidak terbagi – bagi. Harta warisan
biasanya berupa benda tidak bergerak, seperti tanah, kebun, sawah, ladang,
rumah, atau bangunan lain. Setiap ahli waris kerabat berhak untuk mengusahakan,
menggunakan, ataupun memperoleh hasil dari harta warisan kolektif tersebut.
Pemanfaatan harta warisan kolektif diatur bersama atas dasar musyawarah dan
mufakat. Sistem pewarisan kolektif ini terdapat pada kelompok masyarakat
matrilineal, seperti Minangkabau di Sumatra Barat serta masyarakat Patrilineal,
seperti Minahasa di Sulawesi Utara dan Lampung di Sumatra bagian selatan.
- Sistem pewarisan mayorat
Adalah sistem pewarisan kolektif juga dengan cara yang lebih
khusus, yaitu meneruskan dan mengalihkan hak penguasaan atas harta warisan yang
tidak terbagi itu untuk dilimpahkan kepada anak tertua sebagai pemegang amanah
selaku kepala keluarga. Anak tertua tersebut berkedudukan sebagai penerus
tanggung jawab orang tua yang sudah meninggal. Anak tertua ini dibebani
kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang belum dewasa dengan
memanfaatkan hasil harta warisan penerusan dari orang tua, sampai mereka dewasa
dan berpencarian sendiri. Sistem pewarisan mayorat ini terdapat pada kelompok
masyarakat adat, antara lain lampung, di Lampung dan masyarakat Semendo di
Sumatra Selatan.
Menurut hukum adat yang berlaku di
Jawa, pembagian harta gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain selain
dari anak atau istri ( suami ) dari pihak yang meninggal harta gono-gini. Hal
ini ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 Reg. Nomor
258K/Sip/1959. Jadi, pihak yang berhak menuntut pembagian harta gono-gini
peninggalan almarhum atau almarhumah hanyalah anak atau istri/suami
almarhum/almarhumah. Cara pembagiannya, harta gono-gini dikurangi dulu dengan
utang-utang almarhum jika ada. Kemudian, sisanya dibagi dua, separuh untuk
bagian istri (janda) almarhum dan separuhnya lagi dibagi sama menurut jumlah
anak.
Menurut hukum adat yang berlaku di
Jawa, seorang janda mendapat separuh dari harta gono-gini. Hal ini ditetapkan
dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1959 Reg. Nomor 387K/Sip/1958.
Selama seorang janda belum kawin lagi, harta gono-gini yang dikuasai oleh janda
tersebut tidak dapat dibagi – bagi, guna menjamin penghidupannya. Hal ini
ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Juli 1959 Reg. Nomor
187K/Sip/1959. Akan tetapi, jika janda itu kawin lagi, baru harta peninggalan
almarhum itu boleh dibagi. Cara pembagiannya mengikuti pembagian seperti yang
telah dikemukakan diatas.
Menurut hukum adat yang berlaku di
Jawa, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua
angkatnya. Jadi, terhadap harta pusaka (benda asal), anak angkat tidak berhak
mewarisinya. Hal ini ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret
1959 Reg. Nomor 37K/Sip/1959. Cara pembagiannya, harta gono-gini dikurangi dulu
dengan utang-utang almarhum jika ada. Kemudian, sisanya dibagi dua, separuh
untuk bagian istri (janda almarhumah) dan separuhnya lagi dibagi sama menurut
jumlah anak. Bedanya, anak kandung berhak mewarisi semua harta peninggalan dari
almarhum bersama dengan janda (istri) almarhum.
Menurut hukum adat yang berlaku di
Jawa, dilarang pencabutan hak untuk mewaris. Hak untuk mengisi atau
menggantikan kedudukan seorang ahli waris yang lebih dulu meninggal daripada
orang yang meninggalkan warisan (pewaris), ada pada keturunan dalam garis menurun.
Hal ini ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 Reg.
Nomor 391K/Sip/1958. Jadi, jika ahli waris itu meninggal lebih dulu dari pada
pewaris, anak dari ahli waris yang meninggal itu menggantikan kedudukan waris
ayahnya itu. Dengan kata lain, cucu dari pewaris yang meninggalkan warisan.
Menurut hukum adat yang berlaku di
Pulau Jawa, jika dalam suatu perkawinan tidak dilahirkan seorang anakpun, istri
(janda) almarhum dapat tetap menguasai benda-benda gono-gini sampai dia
meninggal atau sampai dia kawin lagi. Selain itu, barulah oleh para ahli waris
dapat dipinta pembagian dari benda-benda gono-gini tersebut. Hal ini ditetapkan
dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Oktober 1958 Reg. Nomor 298K/Sip/1958.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar