Dari
Rindy, Untuk Duta
“Gulita telah berganti, Kasih
itupun pergi”
Ba’da
Maghrib telephone selulerku berdering. Dering nada SMS. Dari layar ku baca
pesan itu, rupanya dari si Duta. “Sayang, aku ke Kost kakak kamu. Ini aku mau
berangkat.” Ya, memang saat itu aku sedang berlibur ke Surabaya ke tempat
kakakku yang letaknya tak jauh dari tugu pahlawan.
Di
satu sisi aku sangat Bahagia karena akan segera bertemu dengan seseorang yang
sedari dulu ku anggap sahabat. Dan akhir-akhir ini telah menjelma ba’ Malaikat
hatiku. Bukan sekedar itu bahkan telah menjadi separuh dari hidupku. Dia
Cintaku bisa dibilang kekasihku.Meski dalam sejarah kami belum pernah ada
ajakan dia padaku untuk menjadikan aku pacarnya. Dan tentu aku tak berharap
demikian karena aku telah lumayan trauma dengan masa laluku yang kelam. Yang
cukup membuat hatiku dan perasaanku begitu kacau. Kehilangan orang yang aku
cintai karena dia yang lebih memilih kekasih barunya. Memang perpisahan itu
bukan dia yang meminta tapi aku sendiri yang meminta tuk mengakhiri semua. Aku
telah lelah dengan air mata itu. Walau awalnya aku rela diduakan namun akhirnya
kesabaranku pun berbatas. Karena ku akui saja bila dibandingkan dari segala
sisi antara aku dan wanita itu mungkin aku hanyalah kertas usang yang tiada
gunanya juga tak memiliki daya tarik. Tak salah bila dia lebih rela menyakiti
aku daripada menahan diri dari godaan wanita itu.
Cukup,
cukup... Cukup sakit mengenang masa lalu yang begitu menyakitkan itu. Kan ku
cari kebahagiaanku yang baru dengan separuh sayap cinta yang baru. Dan semoga
dengan melepaskan separuh sayap cinta lama itu, dia akan temukan sejatinya.
Doaku untukmu, sang mantan.
SMS
itu, hampir saja aku lupa. Segera aku membalasnya dengan wajah yang cemas dan
begitu deg-degan. Sungguh tak dapat diuraikan melalui kata-kata. “Iya,
hati-hati..!!!”, balasku. Namun tak ada balasan lagi darinya.
Kakak
mengajakku mencari makan di luar. Segera ku kenakan jaket switerku yang
berwarna putih tulang. Untuk menutup kaos hitam pendek yang membalut tubuhku. Dengan
celana batik kesayanganku yang ku beli di Jogja ketika Kunjungan Industri
kemarin. Jilbab Abu-abu menutup auratku. Rupanya tak berapa lama tiba-tiba Ibu
kost memanggil kakakku. “Viiiii, ada yang mencari kamu. Katanya tadi cari Rindy
atau siapa gitu, ya tak bilangin kalau disini tidak ada yang namanya Rindy
adanya Dirvi. Itu loo dia nunggu di depan.” Aku dan Kakak saling memandang. Dan
rasanya aku begitu gugup. “Kayaknya itu Rudi deh, Rin..?”, gumam kakakku.
Akupun berfirasat demikian. Kakak pun mengajakku untuk segera menemui tamu itu.
Ku
berjalan dengan wajah gugup dan detak jantung yang tak menentu. Membuka pintu
ruang tamu dengan tangan yang begitu dingin. Dari depan pintu tampak dua orang
pemuda berdiri di depan pagar rumah. Segera ku hampiri, ku sapa dan ku ulurkan
tanganku untuk saling berjabat tangan. “Duta, yaa???”, sapaku masih dengan
kegugupan itu sambil membuka pintu pagar lalu mempersilahkan Duta dan temannya
masuk ke teras. Karena maklum saja aku tak berani mengajaknya masuk ke Ruang tamu
karena sungkan sama ibu kost yang katanya lumayan sensi.
Tanganku
gemetar sambil membuka kunci pagar. Dia dan temannya pun masuk ke teras lalu ku
persilahkan duduk sementara aku dan kakak berdiri di depan mereka karena kursinya hanya ada dua. Kakak berbisik
kepadaku, “Tunggu sebentar tak belikan minuman!” Tak berapa lama kakak beranjak meninggalkan
kita bertiga. Dan aku masih saja bingung bagaimana memulai percakapan itu.
Namun terus ku beranikan diriku untuk bertanya-tanya. Dia pun memperkenalkan teman
yang dia bawa. “Kenalkan ini Tian, temenku!”, ucapnya. Ku ulurkan tanganku
namun rupanya pemuda itu sangat alim sekedaer berjabat tangan saja seperti
dalam Film Ayat-Ayat Cinta. Dia menolak untuk berjabat dengan lawan jenis.
Namun, aku tak mempermasalahkan itu.
Tak
berapa lama kakak datang dari gang sebelah sambil membawa dua botol Fanta dan
dua buah gelas besar yang berisi es batu di tangannya. “Ini silahkan diminum!”,
kakak mempersilahkan kepada mereka. Sambil berbincang-bincang mereka menuang
sedikit demi sedikit minuman itu ke gelas yang berisi es batu tadi. Kita mulai
perbincangan itu. Dia bertanya tentang aku dan sekolahku, begitupun sebaliknya.
Akupun bertanya tentang sekolah temannya.
Kadang
di sela perbincangan kita tanpa sepengetahuannya aku menatap wajahnya dalam
hati menggumam, “Subhanallah, inikah seseorang yang ku impikan selama ini?
Inikah impian masa depanku? Inikah seorang sahabatku yang ku anggap special?
Inikah kekasih yang ku panggil ‘Sayang’ selama ini? Inikah dia yang selama ini
sanggup berkomitmen untuk hidup bersamaku di masa mendatang?”
Namun,
tiba-tiba mereka mempersilahkan aku dan kakakku untuk duduk di kursi mereka.
“Waduh, sini loe mbak duduk di kursi kita jadi gak enak. Lagian kita kan
cowok.”, pinta mereka. “Tidak, tidak usah. Tidak apa-apa kok.”, jawabku dan
kakakku. Dan akhirnya kita semua memutuskan untuk duduk di bawah bersama saja.
Rupanya lebih nyantai. Kita melanjutkan perbincangan tentang bagaimana bisa
sampai di kost kakak dan tau alamatnya. Duta malah menggombal, “Iya tau dong,
dicari gitu. Ini ni Mbak kesetrum ini looe...!!” Sambil menggerak-gerakkan
bahunya ke arahku seolah memberi isyarat. Namun tadak ada yang mengerti
maksudnya.
Tiba-tiba
saja kita kehabisan kata-kata dan Tian
kembali membuat suasana hidup kembali.
“Waaahh,
ini tadi janjian atau gimana masa bajunya warnanya sama?? Hitam-hitaman.”, ucap
Tian.
Bersamaan
aku dan Duta menjawab, “ Ada ikatan batin.”
Begitu
kompak. Duta pun bertanya, “Pulang ke Lamongan kapan?”
“Rencananya
siih pulang pas tahun baru tanggal 01 Junuari pagi setelah Subuh. Soalnya sudah
kangen banget sama adik di rumah.”, jawabku dengan pandangan ke segala arah
yang tak tentu.
“Waaaahhh,
Mbak. Padahal mau diajak keluar tuuh sama Duta”, sela Tian.
“Iya,
sebenarnya pengen ngajak keluar. Tapi berhubung buru-buru pulang, yaa mau
gimana lagi.”, gumamnya dengan agak sedikit kecewa. Namun sebenarnya dia tak
kecewa.
Begitu
tak terasa waktu yang bergulir. Jam menunjukkan pukul 20.30an. Duta dan Tian
berpamitan untuk pulang. Dan akupun melepas kepulangannya. Bersama gulita di
akhir tahun 2012 dalam suasana riuh kota Pahlawan, dia menjabat tanganku dan
berpamitan. Mendorong motornya dari gang ke jalan raya. Gulita perlahan
membawanya hilang dari pandanganku. Gulita
membawa cintaku memisahkan aku darinya.
Dan
taukah engkau wahai kawan, itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan
seorang cowok secara langsung bahkan dalam jarak yang begitu dekat tanpa adanya
keterpaksaan. Telah terencana dalam mimpiku selama ini. Akhirnya terlaksana
seperti yang ku harapkan.
Namun,
pertemuan singkat itu sangat berkesan dalam sejarah hidupku. Hidup dan Abadi
dalam aliran darahku bahkan denyut nadiku. Walaupun gulita telah berganti dan
cinta itu telah pergi dari pandanganku. Aku takkan melupakan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar