PUASA
(Oleh : Yusuf)
A. Pengertian dan Hakekat
Puasa
1.
Definisi
Puasa menurut bahasa adalah menahan. Sedangkan
menurut istilah / syari’at adalah
menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami istri dan
semua hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
2.
Hukum Puasa
Ditinjau dari hukumnya puasa terbagi menjadi
puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa wajib adalah puasa yang dilaksanakan pada
bulan ramadhan. Yang merupakan salah satu dari rukun islam dan salah satu
fardhu dari sekian banyak fardhu.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang – orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.”( QS Al Baqarah 183).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebaga’i petunjuk bagi
manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda ( antara yang haq dan
yang bathil). Karena itu barang siapa diantara kamu ada di bulan itu , maka
berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa )
maka (wajib menggantinya, sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari –
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” ( QS Al
Baqarah 184-185).
Hal ini juga dijelaskan oleh hadist berikut,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di tegakan diatas lima perkara,
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
Mendirikan Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan
berpuasa di bulan Ramadhan.”(HR Bukhari-Muslim).
Adapun puasa sunnah adalah puasa yang dilaksanakan
di luar bulan ramadhan di hari-hari yang telah di contohkan Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasalam yang insyaAllah akan dipaparkan di depan.
3.
Rukun Puasa
a. Niat
Niat adalah keinginan dalam hati untuk berpuasa
karena ingin menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mendekat kepada-Nya. Hal ini berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan tidaklah mereka di perintah kecualii supaya beribadah kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan Kepada-Nya (dalam menjalakan) agama yang
lurus.”(QS-Al Bayinah 5).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: “sesungguhnya segala amal tergantung pada niat
dan sesungguhnya setiap orang hanya akann mendapat apa yang tlah
diniatkan.” ( HR Bukhari , Muslim, Trmidzi, Ibnu Majah & Nasa’i).
Jika melaksanakan puasa wajib, maka niat wajib
dilakukan pada waktu sebelum fajar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam :
“Dari Hafshah, telah Bersabda
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: Barang siapa yang nenetapkan
niat puasa sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.” (HR Tirmidzi &
Nasa’i)
Adapun jika melaksanakan puasa sunnah, maka sah berniat setelah terbit
fajar dan matahari telah meninggi. Dengan syarat belum memakan apapun.
Berdasarkan dalil dari Aisyah Radhiyallaahu 'anha.
“Aisyah Radhiyallaahu 'anha berkata bahwa
suatu hari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ke rumah,
kemudian bersabda : “Apakah engkau mempunyai makanan?” Aku
menjawab “Tidak” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda“kalau begitu Aku puasa.” ( HR Muslim).
b. Menahan Diri
Yaitu menahan diri dari hal - hal yang membatalkan
puasa seperti: makan, minum dan hubungan suami istri dari terbit fajar sampai
terbenam matahari.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…. maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa
yang telah di tetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai datang malam….” (QS Al-Baqarah 187)
Batas awal waktu menahan diri adalalah setelah
fajar, berdasarkan dalil sbb:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: “makan dan minumlah sampai Ibnu Umu Maktum menyeru.
Sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar.” (HR Bukhari dan Ibnu
Majah)
Adapun bagi mereka yang mengatakan batas imsak
adalah sebelum fajar hanya sebagai tindakan kehati-hatian.
Sedangkan batas akhir waktu menahan diri adalah
datangnya waktu malam (terbenam matahari). Berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“… Lalu sempurnakan puasa puasa hingga tiba waktu
malam…” (QS Al-Baqarah 187).
B.
Macam-macam Puasa Sunnah
Adapun
macam macam puasa yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam berdasarkan dalil yang shahih adalah sebagai berikut:
1.
Puasa Hari Arafah
Puasa arafah di sunnahkan bagi selain orang yang
berhaji yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah, karena Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa hari arafah itu menghapus dosa dua tahun,
setahun yang silam dan setahun yang akan datang. Dan puasa asyura itu menghapus
dosa setahun sebelumnya.” (HR Muslim).
2.
Puasa Tasu’a dan Puasa Asyura
Yaitu puasa yang di laksanakan pada tanggal 9 &
10 muharram. Berdasarkan hadits:
“… jika sampai pada tahun depan Insya Allah kita
puasa Tasu’a
3.
Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam:
“Barangsiapa berpuasa di bulan ramadhan dan
meneruskannya dengan (puasa) enam hari di bulan syawal, maka ia seperti
berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim)
4.
Memperbanyak Puasa di bulan Sya’ban
Dari Aisyah Radhiyallaahu 'anha, dia berkata.
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali pada bulan ramadhan. Dan aku tidak
pernah melihat Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memperbanyak puasa di
bulan-bulan lain seperti sya’ban.” (HR Bukhari-Muslim)
5.
Memperbanyak Puasa Dibulan Muharram.
Berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa RasulullahShallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda :
“Puasa yang paling utama setelah bulan ramadhan
adalah bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu
adalah shalat malam.”(HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi & Nasa’i)
6.
Puasa Setiap Hari Senin Dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid berkata. Sesungguhnya
Nabiyullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam puasa pada hari senin dan
kamis dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah ditanya perihal
puasa itu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda:“Sesungguhnya segala awal seluruh hamba dipaparkan pada
hari senin dan kamis.”(HR. Abu Daud)
7.
Puasa Tiga Hari Setiap Pertengahan Bulan
Dari Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa SallamBersabda: “Berpuasalah tiga hari pada setiap
bulan, karena sesungguhnya kebaikan di kalikan sepuluh, sehingga puasa itu
(puasa 3 hari) sama dengan puasa satu tahun penuh.” (HR Bukhari – Muslim)
Juga hadits dari Abu Dzar, dia berkata.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa SallamBersabda : “Wahai
Abu Dzar jika engkau berpuasa tiga hari dari setiap bulan, maka berpuasalah
tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas.” (HR. Tirmidzi dan
Nasa’i)
8.
Puasa Nabiyullah Dawud
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam
“Puasa yang paling di sukai di sisi Allah adalah
puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR Muslim, Nasa’i
dan Ibnu Majjah)
C. Perkara
yang diharamkan, dimakruhkan dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa
1. Perkara yang diharamkan
a. Berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadist dari Abu Hurairah Radhiyallaahu
'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua
hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa
sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan haramnya
berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka
untuk ihtiyath (berjaga-jaga)”.
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hukum berpuasa sehari atau dua
hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa
sunnah”.
Maka disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan
dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa
seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan
sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa.
b. Mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang menyakini bahwa menjelang
bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat
(dikenal dengan “nyadran”atau “nyekar”). Kita boleh setiap saat
melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian.
Namun kesalahannya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu
tertentu dan menyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama
untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan,
karena sama sekali tidak ada dasarnya dari ajaran Islam yang menuntunkan hal
ini.
c. Padusan, mandi besar atau keramasan menyambut
Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut
bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan
seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Lebih parahnya lagi mandi
semacam ini (dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan
campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian umum. Ini
sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.
Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan
murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Perkara yang dimakruhkan
a. Membersihkan Hidung, Menghirup Air, dan
Berkumur-kumur berlebihan
Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam kepada seorang sahabat yang minta nashihat tentang wudlu:
“Sempurnakanlah wudlu, selat-selati diantara
jari-jari, dan dalam-dalamlah saat menghirup air ke hidung kecuali engkau dalam
keadaan shaum”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasai).
Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam juga bersabda,
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq
(memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud no.
142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin
Shobroh.
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan
shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.)Ibnu Taimiyah
menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam
hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga
berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. Akan tetapi, dilarang untuk
berlebih-lebihan ketika itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266) Juga tidak
mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan
mandi. (Shahih Fiqh Sunnah, 2/112)
Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa
sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa sengaja, seperti itu
tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah di
dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang
basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang
basah tadi ikut tertelan.” (Fathul Bari, 4/159)
b. Menggosok
gigi atau bersiwak
Seorang
sahabat menerangkan bahwa;
“Aku
melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedang menggosok
gigi padahal ketika itu beliau sedang shaum” (HR. Bukhari)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seandainya
tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi
(bersiwak) setiap kali berwudhu.”
Imam Al
Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah
dan kering bagi orang yang berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam
Al Bukhari ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy
Sya’bi) yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak
basah. (Fathul Bari, 4/158)
Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa
ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih
pendapat tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari
tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam
masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa
hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan
untuk bersiwak.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266.)
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak
dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir
siang.”( Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259.)
Dalil
yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersiwak
itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”( HR. An Nasai no.
5 dan Ahmad 6/47. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Adapun
menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa
karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian
dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi
sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga
waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat
merusak puasanya.( Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262.)
c. Banyak
tidur dan melakukan perbuatan yang sia-sia
Ada di
antara kaum Muslimin yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk tidur
dan bermalas-malasan atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan sia-sia seperti
main catur, kartu domino, nonton TV, bermain Game, mendengar musik dan
semacamnya, dengan dalih untuk menghilangkan kejenuhan sambil mengisi waktu
luang menunggu waktu berbuka puasa, padahal akan jauh lebih bermanfaat apabila
ia mengisi waktu lowong tersebut dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan
kajian-kajian Islam atau membaca buku-buku agama.
Orang yang
banyak melakukan tidur di bulan Ramadhan melandaskan perbuatannya dengan sebuah
hadits dha’if yaitu:
“Tidurnya
orang yang berpuasa adalah ibadah.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhudan
al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallaahu 'anhu. Hadist
ini adalah dha’if.
d. Shalat tarawih dengan tergesa-gesa dan tidak tuma’ninah (tenang)
Pada pelaksanaan shalat tarawih di masjid-masjid sering kita saksikan
imam shalat melakukan shalat tarawih dengan tergesa-gesa, terlalu cepat dalam
melaksanakan shalat, tidak menyempurnakan sujud, ruku’, dan bacaan shalat
lainnya. PadahalRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seburuk-buruk
pencuri adalah pencuri di dalam shalat, di mana ia tidak menyempurnakan ruku,
sujud, dan kekhusyukannya.” (HR. Ahmad)
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak sah
shalat seseorang yang tulang punggungnya tidak lurus ketika melakukan ruku’ dan
sujud.”(HR. An-Nasai dan At-Tarmidzi)
3. Perkara yang disunnahkan bagi orang
yang berpuasa
a. Makan sahur dengan
mengakhirkannya.
Para ulama telah sepakat
tentang sunnahnya sahur untuk puasa. Meski demikian, tanpa sahur pun puasa
tetap boleh.
Sabda Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam:
Dari Anas Radhiallahu
'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Makan
sahurlah kalian, karena (makan) di waktu sahur itu mengandung barakah.". (HR
Bukhari dan Muslim)
Makan sahur itu menjadi
barakah karena salah satunya berfungsi untuk mempersiapkan tubuh yang tidak
akan menerima makan dan minum sehari penuh. Selain itu, meski secara langsung
tidak berkaitan dengan penguatan tubuh, tetapi sahur itu tetap sunnah dan mengandung
keberkahan. Misalnya buat mereka yang terlambat bangun hingga mendekati waktu
subuh. Tidak tersisa waktu kecuali beberapa menit saja. Maka tetap disunnahkan
sahur meski hanya dengan segelas air putih saja. Karena dalam sahur itu ada
barakah.
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam:
Dari Abu Sa'id Al
Khudri Radhiyallaahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "makan sahur itu berkah, maka
janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum
seteguk air, karena sesungguhnya Allah 'azza wajalla dan para malaikat-Nya
bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur."(HR. Ahmad).
b. Menyegerakan berbuka
Disunnahkan dalam berbuka
puasa dengan menyegerakan dan tidak menunda-nundanya setelah terdengar adzan
sholat Maghrib. Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Senantiasa
manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka".
(HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan membaca doa yang
matsur dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika
berbuka puasa. Karena doa orang yang berpuasa dan berbuka termasuk doa yang
tidak tertolak.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengucapkan: DZAHABAZH
ZHAMAA`U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATIL AJRU IN SYAA-ALLAAH (Telah hilang
dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah).(HR.
Abu Dawud)
c. Memberi makan
orang berbuka
Memberi makan saat berbuka
bagi orang yang berpuasa sangat dianjurkan karena balasannya sangat besar
sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi. Bahkan meski hanya
mampu member sebutir kurma atau seteguk air putih saja. Tapi yang lebih utama
bila dapat memberikan makanan yang cukup dan bisa mengenyangkan perut.
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiyallaahu
'anhu berkata; Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang
yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun" Abu
'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih." (HR.
At Tirmidzi)
d. Menjaga lidah dan
anggota tubuh
Disunnahkan untuk
meninggalkan semua perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada
kefasikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (bergunjing),
namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meski tidak sampai membatalkan
puasanya, namun pahalanya hilang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sedangkan
perbuatan itu sendiri hukumnya haram baik dalam bulan Ramadhan ataupun di luar
Ramadhan. Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu
'anhu berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan
bohong, melakukan kebohongan dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak memiliki
keperluan (tidak akan menerima) apa yang dilakukan seseorang dari menahan makan
dan minum (puasa).”(HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud, dengan lafazh Abu Dawud).
e. Memperbanyak
sedekah
Ibnu Rajab al Hambali Rohimahullah juga
membawakan sebuah hadits:
….
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling
dermawan, sedangkan pada bulan Ramadhan, ketika Jibril menemuinya, beliau
menjadi lebih dermawan lagi. Adapun Jibril selalu menemui beliau setiap malam
pada bulan Ramadhan untuk mengajarinya Al-Qur’an. Adalah Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, ketika Jibril menemuinya, lebih dermawan dari
angin yang berhembus.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
f. Menyibukkan diri
dengan ilmu dan tilawah
Hubungan antara Ramadhan dan
Al-Qur’an sangat kuat, ikatannya amat erat. Sebagaimana yang kita ketahui,
Al-Qur’an adalah kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan umat ini dari
kegelapan menuju cahaya.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa dan Al-Qur’an memberi
syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Robbku, aku telah
menahannya dari makan dan syahwat pada siang hari, maka berikanlah syafaat
kepadaku untuknya.’ Al-Qur’an berkata, ‘Wahai Robbku, aku telah menahannya dari
tidur di malam hari, maka berikanlah syafaat kepadaku untuknya.’ Lantas
keduanya memberi syafaat kepada hamba tersebut.”(HR.
Ahmad, dishahihkan al-Abani).
g. Shalat Tarawih
Sudah
lazim diketahui bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan disebut dengan shalat
tarawih. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan ,
“Tarawih adalah bentuk jamak (plural) dari tarwihah, yaitu bentuk
kata yang bermakna satu kali dari kata rahah(istirahat), seperti
kata taslimah yang berasal dari kata salam. Shalat
berjamaah pada setiap bulan Ramadhan disebut shalat tarawih karena pada
permulaannya, mereka berkumpul untuk mengerjakannya, mereka beristirahat setiap
dua kali salam.”
Pada suatu
malam bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallampernah
keluar, lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat
orang-orang mengerjakan shalat di salah satu sudut masjid. Beliau bertanya,
‘Apa yang mereka lakukan?’, seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, mereka
itu adalah orang-orang yang tidak memiliki hafalan Al-Qur’an. Ubay bin Ka’ab
membacakan kepada mereka dan ia menjadi imam dalam shalat mereka.” Beliau
bersabda, ‘Sungguh baik apa yang mereka lakukan.’ Atau ‘sungguh tepat apa yang
mereka lakukan.’ Beliau tidak keberatan terhadap apa yang telah mereka lakukan
itu.” (HR. al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani)
Anas bin
Malik Radhiyallaahu 'anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di
masjid. Begitu aku dating, aku pun segera mengerjakan shalat disamping beliau.
Kemudian datang orang lain yang juga mengerjakan shalat hingga jumlah kami
menjadi banyak. Begitu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyadari
keberadaan kami di belakang beliau, beliau lantas memperingan shalat. Kemudian,
beliau masuk ke dalam rumahnya dan mengerjakan shalat yang tidak beliau
kerjakan bersama kami.”
Anas bin
Malik Radhiyallaahu 'anhu berkata, “Pada pagi harinya, kami
bertanya, ‘Apakah Anda menyadari keberadaan kami tadi malam?’ Beliau
menjawab: “Ya, Itulah yang menyebabkan aku melakukan apa yang telah aku
lakukan.”(HR. Muslim).
g. I’tikaf dan
Mencari Lailatul Qadar
I’tikaf
Ramadhan adalah kesempatan terbaik bagi orang yang ingin mendapatkan
kebahagiaan sejati. Karena di dalamnya terdapat berbagai macam hadiah yang
telah disimpan untuk para hamba, tepat pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan.
I’tikaf
hukumnya sunnah muakkad. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallammelakukannya
secara rutin dalam kehidupan beliau setelah hijrah ke Madinah al-Munawwarah.
I’tikaf yang dihidupkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itu
pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan dan kurun waktunya terbatas antara
Sembilan sampai sepuluh hari.
Abu
Hurairah Radhiyallaahu 'anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda : “(Waktu datangnya) Lailatul Qadar
diperlihatkan kepadaku. Kemudian salah seorang keluargaku telah membuyarkan
konsentrasiku, (sehingga) aku pun lupa darinya, maka carilah ia pada sepuluh
(malam) terakhir.”(HR. Muslim)
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam telah berusaha keras pada sepuluh hari terakhir ini,
sesuatu yang tidak beliau lakukan pada waktu-waktu yang lainnya, dan beliau
melakukan i’tikaf untuk mencari malam itu. Beliau melakukannya secara
berkesinambungan untuk menggapai malam itu. Oleh sebab itu, marilah kita raih
apa yang terluputkan dari kita selama ini dengan memanfaatkan sebaik mungkin
malam Lailatul Qadar. Malam yang ketika itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima
taubat dari setiap orang yang bertaubat. Pada malam itu ditetapkan apa yang
akan terjadi pada setahun ke depan berupa kematian, hidup, rezeki dan hujan.
D. Pembatal-Pembatal Puasa
1. Makan minum secara sengaja.
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, “Barangsiapa
lupa bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaklah ia meneruskan
puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh
Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam:
“Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena
lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha’ dan tidak ada kewajiban kafarat.(HR. Ibnu
Hibban , Ad Daraquthni, dan Ibnu Khuzaimah).
Hadist di atas menunjukkan
bahwa seseorang yang lupa lalu ia makan, minum saat ia berpuasa maka puasanya
tidak batal, berdasarkan ungkapan beliau, “…maka hendaklah ia
meneruskan puasanya…” yang berarti ia masih berpuasa, demikianlah
pendapat jumhur ulama, Zaid bin Ali, Al-Baqir, Ahmad bin Isa, Imam Yahya dan
dua golongan.
Sedangkan ulama yang lain
berpendapat bahwa puasanya batal, karena menahan diri dari segala yang
membatalkan merupakan rukun puasa, maka hukumnya seperti orang yang lupa
melakukan salah satu rukun dari rukun-rukun shalat, orang tersebut harus
mengulangi shalatnya walaupun hal itu terjadi karena lupa, sedangkan sabda
beliau,“…maka hendaklah orang tersebut meneruskan puasanya…” yakni
hendaklah orang tersebut meneruskan usahanya dalam menahan diri dari segala
yang membatalkan.
Pendapat ini dibantah,
bahwasanya sabda beliau, “…maka tidak wajib baginya qadha’ maupun
kafarat.” Jelas menyebutkan bahwa puasanya sah dan tidak wajib
diqadha’. Ad-Daruquthni juga telah meriwayatkan tidak wajibnya qadha’ ini dari
Abu Rafi’, Said Al-Maqbari, Al-Walid bin Abdurrahman dan Atha bin Yasar yang
semuanya dari Abu Hurairah. Beberapa orang sahabat juga menfatwakan hal
tersebut di antaranya Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Ibnu Umar,
sebagaimana yang dilansir oleh Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Hazm.
2. Hubungan Suami Istri
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai,
Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia
berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam
riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan
Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk
dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallamberkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia
menjawab,”Tidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh
orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam
sebentar.
Dalam
keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamdiberi satu ‘irq
berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata:
“Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya
orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah
dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata:“Apakah kepada orang
yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung
kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak
gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah
makan keluargamu!”. (HR. Bukhari)
Hadist ini menunjukkan
wajibnya kafarat bagi orang yang berjima’ dengan sengaja pada siang hari di
bulan Ramadhan. An-Nawawi mengatakan bahwa hukum ini adalah ijma’ ulama, baik
orang tersebut kaya atau miskin. Salah satu pendapat Asy-Syafi’I mengatakan,
bahwa jika orang tersebut dalam keadaan miskin maka kewajiban tersebut berada
di dalam tanggungannya –hingga ia mampu-, sedangkan pendapat keduanya ialah
bahwa kewajiban tersebut lepas dari tanggungjawabnya, karena dalam kisah
tersebut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak
menjelaskan kalau orang tersebut masih menanggung kafarat.
Zhahir hadist ini
mengisyaratkan bahwa kafarat tersebut dipilih secara berurutan, maka tidak
diperbolehkan memilih nomor kedua jika mampu melaksanakan nomor pertama, dan
tidak boleh memilih nomor ketiga jika mampu melaksanakan nomor kedua, karena
kafarat ini disebutkan berurutan didalam riwayat Ash-Shahihain.
Menurut pendapat Asy-Syafi’I
dan didukung oleh Al-Auza’I bahwa hukum di atas adalah hukum yang berkaitan
dengan pihak suami, sedangkan pihak istri yang telah dijima’, berdasarkan
hadist di atas tidak wajib atasnya kafarat, karena dari peristiwa tersebut
hanya wajib satu kafarah yang tidak wajib atas istri.
Namun jumhur ulama
berpendapat bahwa kafarat tersebut wajib atas istri juga, mereka mengatakan
bahwa di dalam hadist tersebut Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam
tidak menyebutkannya karena ia tidak ikut memberikan pengakuan, dan pengakuan
suami tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada istrinya, atau bisa jadi istri
tersebut dalam keadaan tidak puasa karena mungkin saja ia baru saja suci dari
haid setelah terbit fajar, atau karena keterangan hukum untuk suami sudah cukup
mewakili sebagai keterangan hukum untuk istri berdasarkan kebiasaan yang
diketahui dalam penyamarataan hukum, yang mana kemudian Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam mengetahui kesulitan istri tersebut melalui kondisi
suaminya.
3. Sengaja Muntah
Sabda
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Telah menceritakan kepadaku
dari Malik dari (Nafi’) dari (abdullah bin Umar) berkata: “Barangsiapa
muntah dengan sengaja saat sedang berpuasa, maka dia harus mengganti puasanya.
Dan barangsiapa tidak sengaja muntah, maka dia tidak wajib menggantinya”.
Hadist ini menunjukkan bahwa
muntah tanpa disengaja tidak membatalkan puasa berdasarkan sabda beliau, “…
maka dia tidak wajib menggantinya.” Karena ketiadaan qadha’ merupakan
isyarat bahwa ibadah tersebut sah.
Sedangkan orang yang berusaha untuk muntah
maka puasanya batal, dan zhahir hadist ini mengisyaratkan bahwa ia wajib
menggantinya/mengqadha’ walaupun tidak berhasil muntah berdasarkan perintah
beliau untuk menggantinya. Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan adanya ijma’ yang mengatakan
bahwa kesengajaan untuk muntah membatalkan puasa.
4. Keluarnya mani secara sengaja
Melakukan segala sesuatu
yang dapat merangsang birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa
menjadi batal. Seperti melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar porno
baik media cetak maupun film dan internet. Karena itu sebaiknya bagi orang yang
berpuasa menghindari semua hal yang merangsang birahi karena dapat membatalkan
puasa. Tetapi bila keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka
puasanya tidak batal, karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya. Sabda
RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Dari Aisyah, bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “pena
diangkat (tidak terkena dosa) dari tiga hal, orang yang tidur hingga ia bangun
dari orang gila hingga hilang penyakit gilanya, dan seorang anak kecil hingga
ia berakal”.(HR Ahmad) .
5. Mendapat Haidh atau Nifas
Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam:
Dari Abi Said Al-Khudhri Radhiyallahu 'anhu berkata
bahwa RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, Bukankah
bila wanita mendapat haidh, dia tidak boleh shalat dan puasa?
Wanita yang sedang berpuasa
lalu tiba-tiba mendapat haidh, maka dengan demikian menjadikan puasanya batal.
Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang
mendapat darah nifas, maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma’ para
ulama Islam atas masalah wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang
berpuasa.
6. Keluar dari Agama Islam
(Murtad)
Seseorang yang sedang
berpuasa, lalu keluar dari agama Islam / murtad, maka dengan demikian puasanya
menjadi batal. Dan bila hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya
sudah batal. Dia wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan
atau minum. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Dan Sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi. (QS Az-Zumar : 65)
E. Orang yang dibolehkan meninggalkan Puasa
Wajib
Dalam keadaan tertentu,
syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk keringanan
yang Allah berikan kepada umat Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.
Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah seseorang
meninggalkan kewajiban puasa. Adapun kondisi yang diperbolehkan seseorang
meninggalkan puasa wajib adalah sebagai berikut:
1. Dalam
keadaan safar (perjalanan)
Seseorang yang sedang dalam
perjalanan, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan siapa yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS
Al-Baqarah : 184).
Sedangkan batasan jarak
minimal untuk safar yang dibolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar
dalam shalat, yaitu 47 mil atau 89 km. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa
perjalanan itu telah dimulai sebelum mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila
melakukan perjalanan mulai lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia
tidak puasa pada esok harinya itu.
Namun ketentuan ini tidak
secara ijma’ disepakati, karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak
mensyaratkan jarak sejauh itu untuk membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa jaraknya selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian
mengatakan jarak perjalanan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak
perlu jarak minimal seperti yang dikatakan Ibnul Qayyim.
Meski berbuka dibolehkan,
tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak
memberatkan, maka meneruskan puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan
itu memang sangat berat, maka berbuka lebih utama. Berbeda dengan keringanan
dalam menjama’ dan mengqashar shalat dimana menjama’ dan mengqashar lebih
utama, maka dalam puasa harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka,
sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak
terlalu terpaksa, sebaiknya tidak berbuka. Hal ini dijelaskan dalam hadist
RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam,
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, bahwasanya; Hamzah bin Amru Al Aslamibertanya kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, saya
seorang laki-laki yang kuat berpuasa dalam perjalanan. Apakah aku harus berpuasa
dalam perjalanan?" Beliau menjawab: "Berpuasalah
jika kamu mau, dan berbukalah jika kamu ingin berbuka." (HR.
Muslim)
2. Sakit
Orang yang sakit dan
khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan
terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya
harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah
sembuhnya nanti. Sedangkan bagi orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau
kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu
memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkan.
3. Hamil
dan Menyusui
Wanita yang hamil atau
menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di
hari lain. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan
menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan. Pertama, mereka
digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban
mengqadha’ (mengganti) di hari lain.
Kedua, mereka digolongkan
kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa
dengan kewajiban membayar fidyah. Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya
sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu
selain wajib mengqadha’, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terakhir ini
didukung oleh Imam As-Syafi’i.
Namun ada juga para ulama
yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya
karena khawatir akan kesesahatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya,
maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga
berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain
mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
4. Lanjut
Usia
Orang yang lanjut usia dan
tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia
wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang
ditinggalkannya itu. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan bagi orang yang tidak
kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin.(QS
Al-Baqarah:184).
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim
Abdul Azhim bin Badawi Al
Khalafi. Al Wajiz. Jakarta : Pustaka Assunah, 2008.
Abu Bakr Al Jazairi.
Ensiklopedi Muslim. Jakarta : Darul Falah, 2008.
A. Hasan. Terjemah
Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2002.
Ibnu Rusyd. Bidayatul
Mujtahid. Jakarta : Pustaka Amani, 2007.
Rendyadamf. Hal-hal
yang tidak membatalkan puasa dianggap membatalkan puasa.https://rendyasylum.wordpress.com/2010/09/28/hal-hal-yang-tidak-membatalkan-puasa-dianggap-membatalkan-puasa/.
September 28, 2010.
Muhammad
bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani. Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram. Jakarta
: Darus Sunnah Press, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar