MAKALAH
KEMUHAMMADIYAHAN II
“IDEOLOGI
MUHAMMADIYAH”
Disusun
untuk memenuhi salah satu tugas
Matakuliah:Kemuhammadiyahan
II
Dosen
pembimbing: Ngismatul Choiriyah,M.Pd.I
Oleh:
ANISA FITRI 15.22.016421
NURJENAH
15.22.016423
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN EKONOMI
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga makalah KEMUHAMMADIYAHAN II ini
dapat diselesaikan.Shalawat dan salam dimohonkan ke hadirat Allah SWT yang telah membimbing umat
manusia dari berbagai permasalahan menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan
akhirat.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kemuhammadiyahan II, dengan tujuan meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi para
mahasiswa atau mahasiswi.
Makalah ini berusaha kami susun selengkap-lengkapnya. Akan tetapi, kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan dan
kekurangan pengetahuan serta minimnya pengalaman yang dimiliki. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi pembuatan makalah berikutnya.
Berpegang pada prinsip tidak ada gading yang tak retak dan tidak ada
istilah final dalam ilmu, maka saya menyadari bahwa makalah ini bukan karya
yang final. Oleh karena itu dengan segala senang hati, kritik dan saran serta
pandangan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya saya sebagai pembuat makalah ini berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat dalam mencapai suatu tujuan yang diharapan. Amin.
Palangkaraya,25 September 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR
ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang.............................................................................................1
- Rumusan Masalah........................................................................................1
- Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
- Pengertian Muhammadiyah Sebagai Ideologi Gerakan Islam.....................3
- AQIDAH......................................................................................................6
- IBADAH....................................................................................................11
BAB III PENUTUP
- KESIMPULAN..........................................................................................17
- SARAN......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap organisasi tidak dapat
dipisahkan dari pendirinya. Demikian pula Muhammadiyah. Ia tidak
dapat dipisahkan dari K.H.Ahmad Dahlan dalam mengambil keputusan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun
1912, itu dengan maksud agar gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau dapat
diwujudkan melalui Persyarikatan yang beliau dirikan itu. Beliau menyadari
bahwa gagasan dan pokok-pokok pikiran itu tidak mungkin dapat diwujudkan oleh
seorang secara sendiri-sendiri termasuk oleh beliau sendiri, tetapi harus oleh
sekelompok orang secara bersama-sama dan bekerja sama. Secara garis besar,
pokok-pokok pikiran formal itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pokok
pikiran, yaitu pokok pikiran yang bersifat ideologis dan pokok-pokok pikiran
yang bersifat strategis. Pokok-pokok pikiran yang dapat dikategorikan sebagai
pokok pikiran yang bersifat ideologis.
Dalam
masalah akidah umat Islam itu satu atau sama dan dalam masalah fikih umat Islam
terbagi dalam beberapa mazhab, seperti Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, Mazhab
Hanafi dan Mazhab Ahmad bin Hanbal.Tak dapat dipungkiri lagi bahwa di kalangan
umat Islam telah terjadi perbedaan pandangan dalam berbagai persoalan
keagamaan, bahkan kristalisasi perbedaan itu melahirkan mazhab-mazhab, terutama
dalam soal teologi dan hukum (fikih), padahal semuanya bersumber dari (hanya)
satu syariah. Syariah sebagai jalan utama yang mutlak diikuti dalam memahami
dan melaksanakan ajaran Islam, maka seharusnya paham dan praktik Islam juga
tidak bermacam-macam, karena sumbernya hanyalah satu yakni syariah.
B. Rumusan Masalah
2.
Apa saja konsep dan isi ideologi Muhammadiyah?
3.
Apa saja pendapat Muhammadiyah?
4.
Apa saja Pandangan Muhammadiyah?
5.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ideologi Muhammadiyah
2. Untuk mengetahui Aqidah menurut Muhammadiyah
3. Untuk mengetahui ibadah menurut Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muhammadiyah Sebagai
Ideologi Gerakan Islam
Secara etimologis ideologi yang dibentuk dari kata idea, berarti
pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logoi, logos artinya pengetahuan.
Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang
keyakinan atau gagasan. Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi
adalah Antoine Destult, seorang filosuf Prancis, sebagai “science of ideas,
dimana di dalamnya ideologi dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan
membawa perubahan institusional dalam suatu masyarakat”. Dalam aplikasinya ada
beberapa tokoh yang memandang ideologi secara negative. Namun sesungguhnya
istilah ideologi itu bersifat netral, tidak memihak kemanapun.
Dilihat dari fungsinya
yang diperankannya sebenarnya ideologi tidak lebih dari suatu instrumental,
adalah alat penjelas yang ketat, yang dibutuhkan guna mengarahkan pikiran dan
tindakan secara efisien bagi para pendukungnya.
Dalam Muhammadiyah
ideologi dapat dipahami sebagai sistem paham atau keyakinan dan teori
perjuangan untuk mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan umat melalui
gerakan sosial-keagamaan. Karena rujukan dasarnya adalah islam, maka ideologi
muhammadiyah tidak akan bersifat dogmatik dan ekslusif secara taklid-buta,
sehingga tetap memiliki watak terbuka.
Muhammadiyah bukanlah Ideologi sebagaimana Ideologi dalam pengertian sistem
paham yang radikal, kaku, dan bercorak gerakan politik. Muhammadiyah kendati
bukan Ideologi, tetapi dalam perkembangannya sedikit atau banyak mengalami
persentuhan dengan konsep-konsep dan kepentingan ideologis. Dalam Muhammadiyah
banyak diperbincangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan “Ideologi Islam”,
seperti konsep Islam sebagai dasar Negara, masyarakat Islam, asas Islam dan
konsep-konsep politik Islam.
Dalam pemikiran ideologis, M. Djindar tamimi mencatat bahwa:
“pada Muktamar ke 37 1968 di Yogyakarta
telah diterima ide untuk mengadakan tajdid dalam Muhammadiyah bidang:
Ideologi(keyakinan dan cita-cita hidup), Khittah Perjuangn, Gerak dan Amal
usaha serta organisasi, dengan ruusan-rumusannya lebih dikonkritkan dan
disistematisir dalam Tanwir sesudah itu, seperti rumusan Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah dan Khittah Muhammadiyah.”
Pada waktu itu (1968) memang istilah
Ideologi mulai dihindari, sehingga Muhammadiyah memakai Istilah “Keyakinan dan
Cita-cita Hidup” untuk konsep Ideologi. Hal ini untuk menghindari kesamaan
dengan Ideologi Negara, Pancasila.
Semua itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah
betapapun tidak menjadi sistem Ideologi, tetapi tidak tertutup dari pengaruh
pemikiran ideologis dan sampai batas tertentu mengadopsi elemen-elemen Ideologi
gerakan Islam.
Ideologi Gerakan Muhammadiyah dapat dipahami dalam beberapa dimensi dan esensi
pemikiran serta aksi gerakan sebagai berikut:
1. Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan sistem paham
dan teori perjuangan yang dilandasi, dijiwai dan dibingkai serta dimaksudkan
untuk mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan umat manusia.
2. Ideologi gerakan Muhammadiyah ialah manhaj
(sistem, metode) dakwah Islam untuk mengajak manusia beriman kepada Allah serta
amar ma’ruf nahi munkar.
3. Ideologi gerakan Muhammadiyah ialah sistem dan teori
perjuangan Islam untuk Tajdid (pembaruan) sehingga slalu terbuka pada kritik
dan memiliki agenda perubahan kea rah kemajuan.
4. Ideologi gerakan Muhammadiyah memiliki kerangka
pemikiran dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammdiyah, Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran formal lainnya dalam sistem keyakinan dan
kehidupan Islami dalam Muhammadiyah.
5. Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan teori dan
strategi perjuangan Islam yang menyeluruh dan mencakup seluruh aspek kehidupan
untuk mewujudkan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
6. Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan tali pengikat
gerakan yang diwujudkan dalam sistem organisasi, jama’ah, kepemimpinan, dan
gerakan amal usaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di
muka bumi ini.
Dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah
dinyatakan, bahwa dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan
terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di mana kesejahteraan,
kebaikan dan kebahagiaan luas merata, Muhammdiyah mendasarkan segala gerak dan
amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran
Dasar yaitu:
1.
Hidup manusia harus berdasarkan tauhid,
ibadah dan taat kepada Allah.
2.
Hidup manusia bermasyarakat
3.
mematuhi ajaran agama islam dengan
keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan
ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
4.
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam dalam Masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan
kepada kemanusiaan.
5.
Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi
Muhammad saw.
6.
melacarkan amal-usaha dan perjuangan
dengan organisasi.
Ideologi-ideologi yang berbasis agama
memiliki akar pada teologi dari agama-agama yang bersangkutan. Di lingkungan
umat Islam dikenal ideologi Islam, yang memiliki keterkaitan dengan karakter
Islam sebagai agama. Ideologi Islam berbeda dengan Marxisme, Sosialisme dan
Kapitalisme, maupun Ideologi lainnya yang tidak memiliki basis teologis.
Pandangan tentang kebebasan, pesaudaraan, kesamaan, kemanusiaan dan
relasi-relasi social dalam Ideologi Islam memiliki basis pada pandangan
filosofis tentang teologi Islam, sehingga memiliki pijakan yang kokoh.
Ideologi sebagaimana agama menurut
Shariati memang memiliki pemihakan, yang berbeda dari ilmu pengetahuan dan
filsafat. Ideologi dan agama bahka memiliki fungsi kritik terhadap status-quo.
Para Nabi menurut Shariati membangun Ideologi, sehingga yang dibutuhkan dalam
memperjuangkan dan mencapai cita-cita yang diidamkan berdasarkan keyakinan
keagamaan.
B. AQIDAH
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah
Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk tewujudnya
masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk melaksanakan
fungsi dan misi sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Muhammdiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya,
sejak nabi Adam, Nuh, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penututp
Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang
masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spiritual, duniawi dan
ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur’an (Kitab
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW) Sunnah Rasul (Penjelasan dan
pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW
dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam).
1.
Dalam Bidang Aqidah
Aqidah Islam menurut
Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi
aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam
itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan
pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut: nash sebagai dasar rujukan. Semangat kembali kepada
Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umum pada setiap gerakan
pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada
kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara
dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya,
lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah pokok-pokok
aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan dengan
pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. “Berdasarkan pernyataan di atas,
jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang
dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir”. Ketentuan ini juga dijelaskan
lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: (5) Di dalam masalah
aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum
Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16)
dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang
aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
Ketentuan-ketentuan di
atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari
Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam
aliran-aliran teologi pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang
berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah
bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
- keterbatasan peranan akal dalam soal aqidah Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.
- kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar.
- Jika ditinjau dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
- Percaya kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
- Menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail. Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah salaf.
2.
Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang
anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa
mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang
dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran ulama
dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan
logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai
karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran
Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara
lain:
1)
Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah
terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak
menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2)
Tidak mengikatkan diri kepada suatu
madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan hukum.
3)
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak
beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun
akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.
Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah
keputusan yang pernah ditetapkan. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus,
yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan
cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang
dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dalam bidang
ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah,
pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan
tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip
mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
3.
Bidang Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai
salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai
akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia. “Akhlak adalah nilai-nilai dan
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali).
Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul
walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong, takabur,
dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham)”.
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis
perjuangannya, hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak
dapat dipisahkan dari akar historis yang melatarbelakangi kelahirannya.
Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam, melemahnya jiwa santun
terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan terhadap orang yang
dianggap suci dan lain-lain adalah
bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran akhlaqul karimah. Untuk menghidupkan
akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran
yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran
yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan
jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata
kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh
dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame
muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103. Adapun sifat-sifat
akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1)
Akhlaq Rabbani: Sumber akhlaq Islam itu
wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat
kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang
mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup
manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2)
Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam
sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan
akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam
benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai
dengan fitrahnya.
3)
Akhlak Universal. Sesuai dengan
kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik
yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
4)
Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat
memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan
kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi
kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
5)
Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam
memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia
memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan.
Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. (Q.S. Al- Baqarah
/ 27 : 173)
4.
Bidang Mu’amalah Dunyawiyah Mua’malah
Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini,
baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar
negara dan lain sebagainya. Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14
disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk
tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
a.
Menganut prinsip mubah.
b.
Harus dilakukan dengan saling rela artinya
tidak ada yang dipaksa.
c.
Harus saling menguntungkan. Artinya
mu’amalah dilakukan untuk menarik manfaat dan menolak kemudharatan.
d.
Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
C.
IBADAH
Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari
ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pengertian ibadah
sesuai dengan Putusan Majlis Tarjih (PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis
Tarjih Muhammadiyah,cet .III .h.276) diartikan bertaqarub (mendekatkan diri)
kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya dan
mengamalkan segala yang di izinkan Allah.
Dalam hal Ibadah itu ada dua macam, yaitu:
- Ibadah khusus (mahdlah).
Ibadah mahdlah ialah segala macam ibadah
yang telah dinyatakan secara khusus, mengenai tatacaranya atau
kaifiyatnya,waktunya, dan ukurannya,termasuk rinciannya.
- Ibadah yang bersifat umum (ghairu mahdlah). Ibadah yang ghairu mahdlah yakni ibadah yang bersifat umum yang di izinkan oleh Allah, yang tidak ada aturan tertentu, waktu yang mengikat, dan ukuran atau rincian lebih lanjut. (M. Dailamy SP. Ibadah Dalam Islam.2010.h.5-6).
a.
Pandangan Muhammadiyah dalam hal Ibadah
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
1)
Al-Quran : Kitab Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW.
2)
Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan
ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan
akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW,tanpa tambahan dan
perubahan dari manusia.
b.
Penyebab Timbulnya Perbedaan Pendapat
dalam Ibadah
Pada zaman Nabi Muhammad SAW atau zaman turunnya wahyu ,perbedaan pendapat
boleh dikatakan sangat kecil peluangnya. Hal ini karena apabila ada perbedaan
pendapat dapat langsung bertanya kepada Rasulullah. Hanya sahabat-sahabat yang
tinggal di luar Madinahlah yang mencoba menggunakan ijtihad. Ijtihad bukanlah suatu intervensi
terhadap hukum Allah, karena ia tidak lebih sekadar pemahaman langsung terhadap
teks-teks syariah , atau paling jauh merupakan upaya konstruksi
hukumberdasarkan teks yang dikajinya. Penggunaan nalar lebih tepat untuk
sekadar menemukan makna yang sudah ada dalam kandungan syariah itu sendiri.
Nalar hanya berfungsimenyingkap hukum yang sudah ada dalam teks ayat atau
hadits, bukan bertindak sebagaipencipta hukum sendiri.
Meskipun demikian, penggunaan nalar
(ijtihad) merupakan awal dari munculnya perbedaan pendapat dalam memahami
syariat. Jadi walaupun syariat hanyalah satu, tetapi pemahaman ulama melahirkan
perbedaan pendapat dalam soal hukum dan teologi. Tampaknya, hukum sebagai
kandungan dari syariah, tidak otomatis identik dengan syariah. Perbedaannya
ialah bahwa syariah itu tida beragam, karena berasal dari Allah dan Rasul-Nya
sebagai pencipta syariat sedang hukum yang tidak lain dari kandungan syariah
itu sendiri diperoleh sebagai hasil penggalian dan pemikiran dari para
mujtahid. Dengan kata lain, jika syariah hanyalah berasal dari Allah dan
Rasul-Nya semata, maka lain dengan hukum yang salah satu sumbernya ialah
ijtihad di samping Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam menggunakan nalarnya, para
ulama menghadapi dua kemungkinan, yakni mereka langsung mengetahui hukum dari
dalilnya yang tegas, atau mereka dapat mengetahui hukum setelah menggunakan
nalar sesuai dengan konteks persoalannya, yang disebut fikih kontekstual. Hal
terakhir ini jika objek hukum yang dimaksudkan tidak disebut secara tegas dalam
nash-nash syariah. Baik pemahaman tekstual maupun pemahaman kontekstual ,
dua-duanya merupakan ijtihad, yang memberi peluang adanya perbedaan pendapat.
Jika syariah dalam arti nash-nash
(referensi) yang mengandung hukum adalah berasal dari Allah, sedangkan fikih
merupakan hasil upaya dari manusia, maka konsekuensinya ialah syariah berlaku
secara mutlak dan universal untuk segala zaman dan tempat, sedang fikih
hanyalah bersifat relatif, sesuai pikiran ulama serta kondisi zaman dan
lingkungannya masing-masing. Selain perbedaan pikiran, masih ada faktor-faktor
lain yang membawa ke perbedaan pandangan ulama.
Untuk jelasnya, faktor-faktor penyebab perbedaan pandangan ulama dapat dilihat sebagai berikut:
Untuk jelasnya, faktor-faktor penyebab perbedaan pandangan ulama dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Berbeda dalam memahami dan atau
mengartikan teks atau nash sumber dasarnya.Contohnya dalam hal arti kata
menyentuh lawan jensi sebagai salah satu hal yang membatalkan wudhu; sebagian
memahami dengan arti persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, sedang
lainnya memahami dengan arti bersetubuh.
2.
Perbedaan penilaian terhadap hadis yang
dijadikan dasar pengamalan
Hadis tentang mengqadhakan hutang puasa bagi ahli waris atau walinya.
Dari Aisyah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “ Barang siapa meninggaldunia dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka hendaklah walinya mempuasanya ( menyaur utangnya). Bagi mereka yang bulat-bulat menerima hadis shahih berdasarkan kriteria sanad, akan mengamalkan isi hadis. Namun, bagi yang tidak mengakui kesahihan hadis tersebut pasti tidak akan berpayah- payah mengqadha hutang puasa yang meninggal. Kesahihan hadis tersebut dipertanyakan mengingat bertentangan dengan:
Hadis tentang mengqadhakan hutang puasa bagi ahli waris atau walinya.
Dari Aisyah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “ Barang siapa meninggaldunia dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka hendaklah walinya mempuasanya ( menyaur utangnya). Bagi mereka yang bulat-bulat menerima hadis shahih berdasarkan kriteria sanad, akan mengamalkan isi hadis. Namun, bagi yang tidak mengakui kesahihan hadis tersebut pasti tidak akan berpayah- payah mengqadha hutang puasa yang meninggal. Kesahihan hadis tersebut dipertanyakan mengingat bertentangan dengan:
(a)
Al-Quran Surah Al-Najm ayat 38-40, S.
Al-An’am (6): 164,S. Al-Isra (17):15,S. Fathir (35) :18, S al-Zumar (39):7.
(b)
Al Quran Surah Al-Baqarah (2) :286
(c)
Hadis Abu Hurairah (M . Dailamy SP.
Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.51-54)
Contoh lain adalah salat
Qabliyah Jumat ada yarng berpendapat bahwa semua salat Wajib pasti ada salat
rawatibnya. Oleh karena itu sebelum salat Jumat ada salat Qabliyah. Namun ada
yang berpendapat lain. “…ada riwayat yang menyebutkan bahwa apabila masuk
masjid sebelum waktu salat Jumat, para sahabat ra melaksanakan salat dengan
begitu hebatnya, masyaallah. Kemudian para sahabat itu duduk tanpa melaksanakan
salat setelah adzan dikumandangkan,tetapi justru mereka mendengarkan khutbah
lalu melaksanakan salat Jumat”. Dengan demikian, salat yang dilaksanakan
sebelum salat Jumat hanyalah salat sunah tahiyatul masjid. Semua riwayat yang
terkait dengan salat sunah qabliyah Jumat berstatus dha’if, dan tidak dapat
dijadikan hujjah (landasan argumentasi). Sebab, hal sunah hanya dapat
ditetapkan dengan hadis shahih dan maqbul. (Ibadah Salah Kaprah, Wahid Abdul
Salam Bali hal.358) Al-Albani rahimahullah menuturkan : “ Semua hadis yang
berisikan tentang salat sunah qabliyah Jumat yang dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad sama sekali tidak ada yang berstatus shahih, walau satuhadis pun. Satu
dengan yang lain sama lemahnya. (As-Silsilah Ash-shahihah hlm232 dalam 474
Ibadah Salah Kaprah, Wahid Abdul Salam Bali hal.360 terbitan Amzah .Jakarta
2006).
3.
Perbedaan disebabkan berpegang pada teks
secara tekstual dan yang lainnya secara kontekstual.Contohnya pada teks tentang
memanjangkan kain sampai menutup matakaki sebagaimana di temukan pada hadis
riwayat Muslim. Dari Abu Dzardari Nabi SAW beliau bersabda, “ Ada tiga kelompok
(manusia) yang Allah tidak akan berkenan berbicara dengannya besok pada hari
kiamat, tidak pula akan melihatnya ,tidak pula akan mensucikan mereka (bahkan).
Mereka akan mendapatkan siksa yang pedih”. Beliau katakan hal itu sampai tiga
kali dan Abu Dzar berkata, “Celaka dan
rugi mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “al-musbil (
orang yang memanjangkan kainnya sampai menutupi matakaki), al-mannan (orang
yang suka menyebu-nyebut pemberiannya, orang yang melariskan dagangannya dengan
sumpah dusta.”
Secara tekstual ,hais shahih tersebut
menyatakan dengan tegas salah satu dari tiga kelompok orang yang akan mendapat
kansiksa pedih besuk pada hari kiamat. Akan tetapi sebagian oleh ang Islam
lainnya ada yang berpendapat lain. Betulkah hanya karena orang ketika salat
tertutup matakakinya , kemudian akan disiksa oleh Allah dengan siksaan yang
pedih.Tidak bakal disucikan Allah, dan Allah tidak berkenan berbicara
dengannya. (M . Dailamy SP. Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.57-58).
4.
Berbeda disebabkan perbedaan landasan
dasar dan beribadah.
Adzan Jumat dua kali yang pertama pada
saat masuk waktu dan yang kedua setelahnya, serta melakukan shalat dua rakaat
di antaranya . Ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw, Abu Bakar, dan
Umar yang mana mereka hanya mengumandangkan adzan sekali . Sedangkan yang
dilakukan pada masa Usman, adzan tambahan dilakukan sebelum masuk waktu dan
bukan setelahnya, dan ini dilakukan di pasar dan bukan di dalam masjid. Contoh
lain adalah hadis Ibnu Mas’ud yang artinya “Apa –apa yang dipandang baik oleh
orang-orang Islam maka ia adalah baik di sisi Allah.”. Sebagian umat Islam
beranggapan bahwa melakukan hal-hal yang dipandangnya baik sebagai ibadah
kepada Allah, asalkan dengan baik, niat yang baik dan caranya juga baik,
walaupun hal tersebut tidak diperintahkan oleh Allah ataupun Rasul-Nya.
Sebaliknya , di antara umat Islam ada yang berkeyakinan ,bahwa melaksanakan suatu peribadatan walau kelihatannya baik dan dilaksanakan dengan cara yang baik sekalipun ,selagi tidak diperintahkan oleh Allah atau Rasul-Nya ,dipandangnya telah melakukan kebid’ahan. Hal ini merujuk pada hadis Aisyah yang artinya, “Barangsiapa melakukan (peribadatan) yang bukan aku perintahkan, maka akan tertolak. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.86,87,93)
Sebaliknya , di antara umat Islam ada yang berkeyakinan ,bahwa melaksanakan suatu peribadatan walau kelihatannya baik dan dilaksanakan dengan cara yang baik sekalipun ,selagi tidak diperintahkan oleh Allah atau Rasul-Nya ,dipandangnya telah melakukan kebid’ahan. Hal ini merujuk pada hadis Aisyah yang artinya, “Barangsiapa melakukan (peribadatan) yang bukan aku perintahkan, maka akan tertolak. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.86,87,93)
5.
Berbeda karena pola fiqih istinbath dan
fiqih maqashid.
Istinbath artinya mengeluarkan hukum dari dalil – dalilnya.Pola fiqih seperti ini bersifat kaku sebagaimana apa adanya bunyi nash. Cenderung bersifat tekstualis. Kebanyakan ulama mazhab adalah cenderung istinbath. Hasil fikih ini tidak keluar dari hukum kepada hukum. Fiqih maqashid diartikan fikih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang bersifat partikuler. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.135-136). Dalam perkara ini contohnya adalah dalam hal memberi salam kepada siapapun termasuk nonmuslim. Juga dalam hal pembagian waris.
Istinbath artinya mengeluarkan hukum dari dalil – dalilnya.Pola fiqih seperti ini bersifat kaku sebagaimana apa adanya bunyi nash. Cenderung bersifat tekstualis. Kebanyakan ulama mazhab adalah cenderung istinbath. Hasil fikih ini tidak keluar dari hukum kepada hukum. Fiqih maqashid diartikan fikih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang bersifat partikuler. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.135-136). Dalam perkara ini contohnya adalah dalam hal memberi salam kepada siapapun termasuk nonmuslim. Juga dalam hal pembagian waris.
6.
Berbeda disebabkan mengikuti mazhab dan
yang lainnya mengikuti Rasulullah.
Bagi orang yang mengikuti mazaha, Syafei misalkan, pada salat subuh harus pakai kunut. Sedangkan yang beribadah dengan dasar tuntunan dari Rasulullah tidak menggunakan kunut pada waktu salat subuh ,kecuali kunut nazilah yang tidak hanya pada shalat subuh. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.241).
Bagi orang yang mengikuti mazaha, Syafei misalkan, pada salat subuh harus pakai kunut. Sedangkan yang beribadah dengan dasar tuntunan dari Rasulullah tidak menggunakan kunut pada waktu salat subuh ,kecuali kunut nazilah yang tidak hanya pada shalat subuh. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.241).
Masalah qunut, semua
mashab menerima adanya qunut, dan sebagian menganggapnya sebagai sunah
Rasulullah SAW. Perbedaan mereka ialah waktu pelaksanaannya, sebagian
mengatakan bahwa dilaksanakan sebelum ruku, pendapat lain mengatakan sesudah
ruku. Hal yang krusial ialah, apakah qunut itu diharuskan pada setiap shalat
subuh. Al-Syafi`i, mentradisikannya pada setiap shalat subuh, sementara yang
lainnya membolehkan pada setiap shalat, kapan saja terjadi musibah di kalangan
umat Islam. Mazhab ini berdasar pada asal-mula qunut, yani ketika terjadi
pembunuhan masal atas sejumlah penghafal Al-Qur’an oleh kaum musyrikin, seperti
dalam hadits yang bersumber dari Anas bin Malik . Masalah qunut termasuk
masalah klasik dan terus berbeda pendapat di kalangan umat Islam. Hal ini
disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para ulama dahulu yang memang sudah
memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada yang berpendapat bahwa qunut shubuh
itu hukumnya mustahab (disukai) Ini adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam
Syafi’i hukumnya dalam shalat shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu
Hanifah tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh
dikerjakan dalam shalat witir.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam Muhammadiyah ideologi dapat dipahami sebagai sistem paham atau
keyakinan dan teori perjuangan untuk mengimplementasikan ajaran islam dalam
kehidupan umat melalui gerakan sosial-keagamaan. Karena rujukan dasarnya adalah
islam, maka ideologi muhammadiyah tidak akan bersifat dogmatik dan ekslusif
secara taklid-buta, sehingga tetap memiliki watak terbuka.
Muhammadiyah bukanlah Ideologi sebagaimana Ideologi dalam pengertian sistem
paham yang radikal, kaku, dan bercorak gerakan politik. Muhammadiyah kendati
bukan Ideologi, tetapi dalam perkembangannya sedikit atau banyak mengalami
persentuhan dengan konsep-konsep dan kepentingan ideologis. Dalam Muhammadiyah
banyak diperbincangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan “Ideologi Islam”,
seperti konsep Islam sebagai dasar Negara, masyarakat Islam, asas Islam dan
konsep-konsep politik Islam.
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah
dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang
dirumuskan dengan merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam itu disebut
‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis.
Sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan
berita-berita yang mutawatir”.
B. SARAN
Berdasarkan materi makalah Kemuhammadiyahan II diatas, maka diharapkan
pembaca dapat menganalisis pembahasan yang penulis sajikan. Serta pembaca
diharapkan memberikan kritikan agar penulis dapat memperbaiki makalah ini
menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
terimakasih artikelnya
BalasHapus