BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian Ushul Fiqh membahas dalil-dalil yang bersifat global, ahli ushul fiqh dari ulama syafi’iyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih dalam definisi tersebut mencakup pengetahuan tentang dalil-dalil yang disepakati seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan qiyas, dan dalil-dalil yang tidak disepakati misalnya, ihtihsan, istihslah (maslahah mursalah), syaru man qablana, fatwa sahabat dan urf (adat kebiasaan). Pengetahuan tentang dallil-dalil tersebut, terdiri dari dua segi yaitu:
1. Segi kehujahannya (keabsahannya sebagai landasan pembentukan hukum), seperti kehujahan sunnah, ijma, qiyas, dan sebagainya.
2. Segi penunjukannya sebagai hukum serta metode menarik hukum darinya.
Adalah kajian berbagai cara al-Qur’an dan Sunnah menunjukan hukum dari segi kebahasaan seperti suatu perintah menunjukan hukum wajib dan suatu larangan menunjukan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukan pengertian lain, maupun dari segi tujuan syariat seperti dalam praktik qiyas dalam upaya mengembangkan hukum dalam tujuan syariat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Ijtihaad
a. Pengertian Ijtihaad
Kata Ijtihaad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik mapun pikiran. Kata Ijtihaad yang di kemukakan al-Gazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebt berijtihaad jika hanya menggangkat hal-hal yang ringan, seperti menggangkat sebiji sawi.
Dikalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai redeksi dalam mendefenisikan ijtihaad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh, Ibd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefenisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ketingkat yang zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.
b. Dasar Hukum Ijtihaad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihaad. Antara lain:
1. Ayat 59 Surat an-Nisa:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilaj Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS: an-Nisa’/4:59)
Perintah menggembalikan sesuatu yang diperbedakan kepadan al-Quran dan as-Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihaad dengan membahas kandungan ayat atau hadis yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan oleh al-Quran dan sunnah Rasulullah,seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak di tegaskan hukum nya dengan sesuatu yang di sebutkan dalam al-quran karena persamaan illat nya seperti dalam praktek qias (analogi), atau dengan meneliti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihaad seperti inilah yang dimaksud menggembalikan sesuatu kepada Allah dan RasuNya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihaad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan daru Rasulullah dengan apa yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut:
Artinya:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka berliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa mereka memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah kitab Allah, Nabi bertanya: “kalau tidak ada anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi: “Kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab maka aku akan berijtihaad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufik atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR. Tirmizi)
c. Kedudukan dan Fungsi Ijtihaad
Imam Syafi’i ra. (150 H-204 H), menyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah ketika menggambarkan kesempurnaan al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemuluk agama Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewaibkan kepada hambanya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Allah telah menguji ketaatan hamba-hambanya dalam hal-hal yang diwajbkan lainnya.
Pernyataan Imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa bentingnya kedudukan ijtihad di samping al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ketingkat hadis Mutawatir seperti hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redeksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak dapat langsung dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu mengembangkan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
d. Lapangan Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadist Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) datang dari Allah atau Rasul-Nya, seperti Al-Qur’an dan Hadist Mutawwatir (hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya. Al-qur’an yang beredar dikalangan umat islam sekarang ini adalah pasti (qath’i) keasliannya datang dari Allah dan begitu juga Hadist mutawattir adalaha pasti (qath’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik AL-Qur’an atau hadist mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.
e. Macam-macam Ijtihaad
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut al-Thayyib Khudri al-Sayyid, yang dimaksud dengan Ijtihad Fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar, Iman Abu Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
Sedangkan ijtihad jama’i adalah apa yang dikenal dengan ijma dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’i dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama hanya satu disiplin ilmu, yaitu ilmu fiqh. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khudri al-Sayyid, disamping buka berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu. Ijtihad jama’i merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin ilmu disamping ilmu fikih itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan di bahas. Hal ini mengingat, masalah-masalah yang bermunculan, ada yang berkaitan dengan ilmu selain ilmu fikih, seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
f. Syarat-syarat
Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid:
1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak pula perlu menghafal seluruh al-Qur’an. Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
2. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakain syara’, seperti yang telah diuraikan pada syarat yang pertama. Seperti halnya al-Qur’an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat dijangkau bilamana diperlukan.
3. Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak menggambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
4. Mempunyai pengetahui tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukunya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
5. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang illat hukum dan cara menemuka illat’ itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip hukum syariat Islam.
6. Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini mengingatkan bahasa al-Qur’an dan sunnah berbahasa arab.
7. Menguasai ilmu Ushul Fiqh seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mangistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad.
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
g. Tingkatan Mujthid
Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid, mustaqil, mujtahid muntasib, mijtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-Tarjih.
B. Ihtihsan
Dari segi bahasa Ihtihsan berarti menggangap sesuatu baik yang terambil dari kata al-husnu (baik).
a. Macam-macam Ihtihsan
1. Ihtisan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang serupa.
2. Ihtihsan berlandaskan ijma’. Misalnya memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud).
3. Ihtihsan yang berdasarkan Urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh mewakafkan buku-buku serta alat memasak.
4. Ihtihsan yang di dasarkan atas maslahah mursalah.
C. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Kata Maslahah menurut bahasa berrti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”.
a. Macam-macam Maslahah
1. Al-Maslahah al-Mu-tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikan.
2. Al-Maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataanya bertentangan dengan ketentuan syariat.
3. Al-Maslahah al-Mursalah, maslahat macam ini terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula bandingannya dalam al-Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi.
b. Syarat-syarat maslahah mursalah
1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan manfaat bukan kemudaratan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.
2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
3. Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak dianggap bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan ijma’.
D. Istishab
a. Pengertian Istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”.
b. Macam-macam Istishab
1. Istishab al-ibahah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah (boleh).
2. Istishab al-baraah al-asliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan baban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
4. Istishab al-wasf, yaitu istishab yang berdasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang menggubahnya.
E. Urf (Adat Istiadat)
Kata urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara istilah urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adah (adat istiadat).
a. Macam-macam Urf
Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1. Al-Urf-‘Am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negri disatu masa.
2. Al-Urf-‘Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negri tertentu.1
Di samping pembagian diatas, urf dibagi pula kepada:
1. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi suatu kebiasaan masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya.
2. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.
F. Sadduzzariah
Kata sadd menurut bahasa berarti “penutup”, dan kata az-zari’ah berarti “wasilah” atau jalan kesuatu tujuan”. Dengan demikian sadd az-Zari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.
Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul-Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1. Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram.
2. Perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.
G. Mazhab Shahbi
Yang dimaksud dengan mazhab shabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.
Permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’ dalam menetapkan hukum.
Dalam hal ini, Abdul-Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
1. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad.
2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat.
3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain.
4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
H. Syaruiman Qablana
Yang dimaksud dengan syar’u man qablana ialah syariat aturan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, as. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. masalah ini merupakan topik tersendiri dalam pembahasan Ushul Fiqh.
BAB III
KESIMPULAN
Kata Ijtihaad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik mapun pikiran. Kata Ijtihaad yang di kemukakan al-Gazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebt berijtihaad jika hanya menggangkat hal-hal yang ringan, seperti menggangkat sebiji sawi.
1. Ihtihsan berarti menggangap sesuatu baik yang terambil dari kata al-husnu (baik).
2. Maslahah Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu Maslahah dan Mursalah. Kata Maslahah menurut bahasa berrti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”.
3. Kata istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”.
4. urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adah (adat istiadat).
5. ”. Dengan demikian sadd az-Zari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Zaidan al-Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Bairut: Muassasat al-Risalah, 1985.
Muhammad al-Imam, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958
Muhibullah al-Syeikh. Musallam al- Subutfi, Ushul al-Fiqh, Mesir: Al-Matba’ah al-Amiriyah, 1322 H, Cet. I.
Wahab al-Syeikh,’Ilmu Usul al-Fiqh, Kuait: Dar al-Qalam,1983, Cet. IV.
Muhamma al-Syeikh, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar