MAKALAH
USHUL FIQH II
“ DILALAH LAFAH TERHADAP HUKUM PERSPEKTIF ULAMA SYAFI'IYAH ”
Di
Susun
ANNISA WULAN DARI
DAN
SANDI IRAWAN
DAN
SANDI IRAWAN
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALANGKARAYA
2016
Dilalah
Lafal Terhadap Hukum
Menurut
Perspektif Mazhab Syafi’i
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi
dua macam, yaitu dilalah mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah
mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan
dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk
hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam
ucapan (lahir) lafadznya. Secara garis besar, dilalah mantuq terbagi
menjadi dua, yaitu mantuq sharih dan mantuq gairu sharih.
Sedangkan dilalah mafhum juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Pada pembahasan dari segi kehujjahan
mafhum mukhalafah ini terdapat perbedaan pendapat antara beberapa
madzhab. Khususnya perbedaan pendapat menurut perspektif madzhab Syafi’i.
Menurut madzhab ini, mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah
akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari penjelasan singkat di atas,
penulis akan memaparkan mengenai pengertian mantuq dan
pembagian-pembagiannya, pengertian mafhum dan pembagian-pembagiannya,
dan kehujjahan mafhum mukhalafah serta syarat-syaratnya menurut
perspektif madzhab Syafi’i.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Pengertian
dari Dilalah Mantuq dan Pembagiannya?
2.
Apa Pengertian
dari Dilalah Mafhum dan Pembagiannya?
3.
Bagaimana Hukum
dari Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah?
4.
Apa Syarat-syarat
Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui dan Memahami Pengertian dari Dilalah Mantuq dan Pembagiannya
2.
Mengetahui dan Memahami Dilalah Mafhum dan
Pembagiannya
3.
Mendeskripsikan Hukum Berhujjah
dengan Mafhum Mukhalafah
4.
Mendeskripsikan Syarat-syarat
Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penyusunan
makalah ini yaitu agar dapat menambah dan memperluas wawasan penyusun dan
pembaca mengenai “Dilalah Lafal Terhadap Hukum Menurut Perspektif Mazhab
Syafi’i”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Dilalah Mantuq dan Pembagiannya
Dilalah manthuq dalam
pandangan ulama Syafi’iyah adalah “Penunjukan
lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam
lafaz itu.[1]
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu
hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman
secara “manthuq”.
Umpamanya firman Allah dalam surat
an-Nisa’ [4]:23:
...فَاِنْ
لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْبِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَاءِلَ
أَبْنَآءِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْ...
“(Diharamkan atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu
dari istri-istri yang telah kamu gauli”.[2]
Ayat ini
menurut manthuq-nya menunjukkan
haramnya menikahi anak tiri yang berada dibawah asuhan suami dari istri yang
telah digauli. Apa yang ditunjuk disini memang jelas terbaca dalam apa yang
tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukkannya begitu jelas dan tidak memerlukan
penjelasan dibalik yang tersurat itu.
Pembagian
Dilalah Mantuq
Dilalah
mantuq terbagi dalam dua kategori, yaitu mantuq
sharih dan mantuq ghairu sharih.
1.
Manthuq sharikh
Dalam istilah
ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah ‘ibarah dalam pengertian ulam Hanafiyah. Menurut Mushtafa
Sa’id al-Khin, mantuq sharikh ialah makna yang secara tegas ditunjukkan
oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa
sebagiannya.
Misalnya, firman Allah dalam QS. An-Nisa : 3,
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوا فِى
اليَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ صل فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا
فَوَاحِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ح ذَالِكَ اَدْنَى اَلَّا تَعُولُوا
"dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ayat
tersebut mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat
adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja.[3]
2.
Manthuq ghairu sharikh
Adalah petunjuk lafadz sesuai dengan kelaziman yang berlaku.[4]
Misalnya dalam firman Allah QS. Al Baqarah (2): 233,
...وَعَلَى
المَوْلُودِلَهُرِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّبِاالْمَعْرُوفِ ج ...
“...Dan
kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf...”
Lafadz pada ayat di
atas menunjukkan arti sesuai dengan kelaziman yang berlaku bahwa nasab anak
dihubungkan kepada bapak.[5]
Manthuq ghairu
sharikh ini terbagi kepada dua macam, yaitu:
a.
Penunjukkannya
itu dimaksud oleh pembicara (terbagi lagi menjadi dua macam: (1) dilalah iqtidha, oleh kalangan Hanafiyah dikenal dengan Iqtidha al-nash; dan (2) dilalah
ima’, yaitu penyertaan sifat
dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan tersebut tidak ada artinya[6],
b.
Penunjukkannya
itu tidak dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut
“dilalah isyarah”, yang oleh kalangan
Hanafiah dikenal dengan istilah isyarah al-nash.
B. Dilalah Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum
adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan
lafal itu sendiri.[7]
Dalam referensi lain disebutkan, dilalah
mafhum adalah “Penunjukan lafadz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau
tidak berlakunya hukum yang disebutkan”. Atau dalam definisi lain yang lebih
sederhana dapat dikatakan dilalah
mafhum adalah apa yang dapat
dipahami dari lafadz bukan menurut yang dibicarakan.[8]
Contohnya, Firman Allah dalam surat al-Isra’ : 23,
...فَلَا تَكُلْ لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرهُماَ...
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu
bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat
dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar atau “uf” dan
menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan itu, juga dapat dipahami adanya
ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu
haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Pembagian Dilalah Mafhum
a.
Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang
diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah
yang artinya: “Jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orang
ibu bapakmu”. Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang)
apalagi memukulnya.[11]
b.
Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang
diucapkan[12],
seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 10,
...اِنَّ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى
بُطُونِهِمْ نَارًا...
“Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya
sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka.”
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama
hukumnya dengan memakan harta dilarang (haram).[13]
2.
Mafhum
Mukhalafah, yaitu
pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbath
(menetapkan) maupun nafi (menidakkan).[14]
Tidak berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan.
Karenanya, hal yang dipahami selalu kebalikannya dari bunyi lafal yang
diucapkan.
Seperti pada firman Allaah dalam QS. Jumu’ah :
9,
... اِذَانُودِيَ لِلصَّلَوةِ مِنْ يَومِ
الجُمُعَةِ فَسْعَوْ اِلَى ذِكْرِاللهِ وَذَرُواالبَيْعَ ج...
“...Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada
hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli...”
Dipahami dari
ayat tersebut bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan si Mu’adzin
dan sesudah mengerjakan sholat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga dalil
khitab.
Mafhum Mukhalafah dibagi menjadi :
a.
Mafhum
mukhalafah wasat (shifat).[15]
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu)
dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai sesuatu sifat.[16]
Seperti
dalam firman Allah dalam QS. An Nisa : 23, “...dan diharamkan
bagimu istri-istri anak kandung (menantu)...”
Sesuai dengan mafhum mukhalafah,
ayat ini berarti bahwa mantan istri yang bukan anak kandung, seperti anak
susuan dan anak angkat boleh dinikahi.[17]
b.
Mafhum
Mukhalafah gayah (batas)
ialah penunjukan suatu lafadz yang
pada lafadz itu ada hukum yang
dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu
sudah berlalu.[18]
Atau dalam definisi yang lebih sederhana, sebelum limit waktu yang ditentukan
habis, maka berlaku hukum; tetapi sesudah habis limit waktu yang ditentukan,
maka hukum tersebut tidak berlaku lagi. Mafhum ini biasa ditandai dengan
lafal “illaa” dan “hatta”
Seperti
dalam QS. Al Baqarah : 230,
فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ
رَوْجًاغَيْرَهُ
“Kemudian
jika si suami mentalaq (sesudah talaq yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
Mafhum
mantuq ayat ini adalah istri yang sudah ditalaq
tiga tidak halal lagi bagi suami pertama kecuali bila istrinya telah menikah
dan diceraikan oleh suami kedua. Sedangkan mafhum gayah pada ayat ini
ialah sebelum istrinya menikah dengan suami kedua dan diceraikannya, maka dia
belum halal bagi suami pertama.[19]
c.
Mafhum
mukhalafah syarat, yaitu
menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari
hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai sesuatu syarat.[20]
Seperti dalam QS. At-Talaq : 6,
وَاَنْ كُنَّ أُوْلَاتِ حَمْلٍفَاَنْفِقُوا اَعْلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkah.”
Mafhumnya adalah jika
istri yang tidak hamil tidak wajib mendapat nafkah dari suaminya.
d.
Mafhum
mukhalafah ‘adad, yaitu
menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari
hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai bilangan tertentu.[21] Seperti
dalam QS. An Nur : 4,
...فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً...
“...Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera...”
Menurut
mafhum ini, dalam ayat tersebut terdapat ketentuan jumlah pukulan yang
tidak boleh kurang dan lebih dari delapan puluh kali.
e.
Mafhum
mukhalafah laqab, yaitu
menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari
hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai ism al-‘alam, ism
al-washf dan ism al-jins.[22] Seperti
pada QS. Yusuf : 4,
اِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيْهِ يَآَبَتِ اِنِّى رَاَيْتُ أَحَدَ
عَشَرَ كَوكَبًا...
“)ingatlah) ketika Yusuf berjata kepada ayahnya: ‘Wahai
ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang,...”
Mafhum
laqabnya ialah selain Yusuf tidak dapat
disebutkan sebagai orang yang melaporkan kepada ayah Yusuf tentang peristiwa
mimpinya.
C. Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah dan syaratnya
Semua
ulama sepakat untuk tidak menggunakan mafhum laqab, karena dalam
bentuknya tidak mungkin dihasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya, sebab
dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk
tidak memberlakukannya di luar nama itu. Para ulama sepakat tentang bolehnya
berhujjah dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum gayah dan mafhum
‘adad diluar lingkungan nash-nash syari’ah (teks hukum). Misalnya
dalam akad perjanjian dan ucapan-ucapan.[23]
D. Syarat Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama
yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan
beberapa syarat dalam menggunakannya, yaitu[24] :
1)
Mafhum
mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil mantuq
atau mafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal.
Dan apabila mafhum mukhalafah berlawanan dengan qiyas jali, maka
didahulukan qiyas jali. Namun bila bertentangan dengan qiyas khafi,
maka mafhum mukhalafah yang didahulukan.
2)
Hukum yang
tersebut dalam nash tidak ditujukan untuk sekedar merangsang keinginan
seseorang untuk berbuat sesuatu. Misalnya pada QS. An Nahl : 14,
لِتَأْ كُلُوا مِنْهُ لَحمًاطَرِيًّا
“supaya mereka makan daripadanya daging yang empuk”
Daging
yang empuk pada ayat ini
tidaklah berarti kita tidak boleh memakan daging yang tidak empuk. Ayat ini
hanyalah untuk merangsang dalam berusaha mendapatkannya dan tidak mempunyai
maksud apapun di balik itu.
3)
Hukum yang
terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang
menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4)
Dalil mantuqnya
(yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainya tidak terpisah dan
disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum
mukhalafahmya.
5)
Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq membicarakan
hukum atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum
mukhalafahnya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Dalam pandangan
ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam, yaitu dilalah
mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah mantuq adalah petunjuk
hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam
susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
2.
Dilalah mantuq terbagi dalam dua kategori, yaitu mantuq sharikh dan mantuq
ghairu sharikh. Mantuq sharikh adalah petunjuk yang secara tegas
disebutkan oleh lafal itu sendiri. Sedangkan mantuq ghairu sharikh
adalah petunjuk hukum yang sesuai dengan kelaziman yang berlaku yang disebutkan
pada lafal itu sendiri.
3.
Dilalah mafhum terbagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuai
dengan ucapan (lahir) lafadznya. Bagian dari mafhum muwafaqah
adalah fahwal khitab (yang berarti hukum yang tidak disebutkan pada lafadz
lebih utama daripada hukum yang disebutkan pada lafadz), dan lahnal
khitab (yang berarti persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dan yang
disebutkan pada lafadznya). Sedangkan mafhum mukhalafah adalah
petunjuk hukum yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam menetapkan maupun
menidakkan. Adapun mafhum mukhalafah terbagi menjadi 5 macam, yaitu mafhum
mukhalafah wasat (shifat), Mafhum Mukhalafah gayah (batas),
Mafhum mukhalafah syarat, Mafhum mukhalafah ‘adad, Mafhum mukhalafah laqab.
4.
Semua ulama
sepakat untuk tidak menggunakan mafhum laqab, karena dalam bentuknya
tidak mungkin dihasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya, sebab dengan
berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak
memberlakukannya di luar nama itu. Para ulama sepakat tentang bolehnya berhujjah
dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum gayah dan mafhum ‘adad diluar
lingkungan nash-nash syari’ah (teks hukum). Misalnya dalam akad
perjanjian dan ucapan-ucapan.
5.
Terdapat
beberapa syarat mafhum mukhalafah yang bisa dijadikan hujjah syara’,
antara lain mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil yang
lebih kuat, baik dalil manthûq bih maupun mafhûm muwafaqahnya,
petunjuk lafadz yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan
dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan, bukan suatu hal yang biasa
terjadi, harus berdiri sendiri, dan bukan dimaksudkan untuk kejiadan atau
peristiwa khusus, serta bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan sifat
tertentu.
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 153
[2] Ibid., hlm. 154
[3] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, cet. II, Jakarta: Kencana, 2008, h. 211
[4] Miftahul
Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam,
cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997, h. 182.
[5] Ibid..
[6] Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 155
[7] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet. II, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001, h. 177.
[8] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 155
[9] Nazar Bakry,
Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 180.
[10] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 156
[11] Kairul Uman,
Ushul Fiqh II, Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia 2001, hlm. 49
[12] Ibid., hlm.
49.
[13] Ibid.,
[14] Ibid., hlm. 50
[15] Ibid.,
[16] A. Djazuli dan
I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), cet. I, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 319.
[17] Kairul Uman,
Ushul Fiqh II, Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia 2001, hlm. 51
[18] Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 160
[19] Kairul Uman,
Ushul Fiqh II, Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia 2001, hlm. 52
[20] A. Djazuli dan
I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), cet. I, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 321-322.
[21] Ibid., hlm.
323
[22] Ibid., hlm. 325
[23] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana 2009, hlm. 162
[24] Ibid., hlm.
167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar