ANALISIS AL-QUR'AN
TENTANG AYAT HUKUM ILA’ DAN
ZHIHAR
DI TINJAU DARI TAFSIR AL-MISBAH
MATA KULIAH TAFSIR AHKAM
Di
Susun
SANDI
IRAWAN
NIM
: 14.41.015957
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALANGKARAYA
2016
Ayat
Tentang Ila’ Dan Zhihar
A.
Q.S.
Al-Baqarah – 266 - 227
لِّلَّذِينَ
يُؤۡلُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ تَرَبُّصُ أَرۡبَعَةِ أَشۡهُرٖۖ فَإِن فَآءُو
فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢٢٦ وَإِنۡ عَزَمُواْ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢٢٧
Artinya : “226.
Kepada orang-orang yang meng-ilaa´ isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. Dan jika mereka berazam
(bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 226 – 227).
Ila’ adalah sumpah yang
dilakukan oleh suami, baik dalam keadaan marah maupun tidak, untuk tidak
melakukan hubungan seks dengan isteri mereka.
Ayat ini memeberi
kesempatan kepada para suami berpikir selama
empat bulan untuk mengambil keputusan tegas, yakni kembali hidup sebagai
suami isteri yang normal atau menceraikannya.
Penantian empat bulan
yang dituntut dari suami ini, seimbang dengan masa tunggu yang diwajibkan
kepada para isteri yang suaminya meninggal, yang bilangannya juga empat bulan
sepuluh hari (baca al-Baqarah [2]: 234).
Sementara ulama
menilai, masa empat bulan itu sebagai masa yang wajar bagi seorang isteri atau
suami yang normal untuk tidak berhubungan seks.
Analisis
Dalam konteks ayat ini, hemat penulis tentang
pemikiran M. Quraish Shihab adalah memberikan redaksi bahwa dalam penantian empat bulan masa ila’ sama
juga dengan masa tunggu saat suami meninggal dan hal tersebut dapat berbeda antara seseorang dengan yang
lain, ada yang tidak dapat bertahan selama itu, dan ada juga yang dapat
melebihinya.
B.
Q.S Al-Ahzab [33]: 4
.......وَمَا
جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔي تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡۚ وَمَا
جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ وَٱللَّهُ
يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِي ٱلسَّبِيلَ ٤
Artinya :
“4........dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S.
Al-Ahzab [33): 4)
Kata tuzhahirun terambil dari kata zhahr yakni punggung. Dari akar kata inilah lahir kata zhihar yang dari segi hukum – sekaligus yang dimaksud ayat diatas –
adalah “ Mempersamakan isteri sendiri dengan ibu kandung atau dengan wanita
lain yang haram dikawini oleh sang suami keharaman abadi – baik dengan
mempersamakannya dengan punggung atau salah satu bagian badan wanita lain.
Ayat diatas menyatakan
bahwa Allah sekali-sekali tidak menjadikan
yakni membenarkan dari segi hukum isteri-isteri kamu yang zhihar yakni yang
kamu katakan kepadanya bahwa: “punggungmu bagiku seperti punggung ibuku”
sebagai ibu-ibu kandung kamu, dalam keharaman menggaulinya, karena ucapan itu
tidak mampu mengubah isteri menjadi ibu.
Dan Allah menegaskan
bahwa yang demikian itu hanyalah perkataan kamu dimulut kamu saja. Ucapan itu
sama sekali tidak mengubah substansi dan hakikat sebenarnya. Dan itulah
ketetapan Allah.
Analisis
Penulis berasumsi bahwa pendapat M.
Quraish Shihab tentang ayat ini adalah tidak menekankan pada pembahasan
zhiharnya, namun lebih kepada pendapat Ibn ‘Asyur tentang dua hakikat penting
yaitu : berkaitan dengan hakikat kepercayaan dan substansi hakikat amal-amal
perbuatan.
C.
Q.S. Al-Mujadilah [58]: 1 - 4
قَدۡ
سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١ ٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ
أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ
مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢ وَٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٣ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ
مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ
مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ
وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤
Artinya : “1.
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. 2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 3. Orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.” (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 1 – 4).
Pada surah al-Mujadilah
ini, di uraikan tentang zhihar yang
pada hakikatnya ada dua macam. Pertama bersifat sementara, dan kedua mutlak.
Yang bersifat sementara itu termasuk dalam kategori Rahbaniyah karena yang bersangkutan enggan menggauli isterinya dan
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt. Sebagian sahabat Nabi Muhammad saw.
Telah menghalangi diri mereka juga untuk menikmati hal-hal yang dibenarkan
Allah padahal tidak ada izin dari Allah untuk melakukannya, misalnya melakukan zhihar terhadap isterinya guna meraih
kesempurnaan ibadah – karena takut berhubungan seks pada siang hari Ramadhan.
Orang-orang yang
mengucapkan zhihar itu benar-benar
mengucapkan suatu perkataan yang mungkar, buruk tidak disukai Allah dan
merupakan budaya yang tidak baik dan disamping itu ia juga adalah kepalsuan (Firman Allah yang memiliki redaksi sama
pada Q.S. Al-Ahzab [33]: 4).
Orang-orang yang ingin
kembali kepada isterinya setelah menzhiharnya maka wajib atasnya untuk memerdekakan
seorang budak, jika tidak mendapatkan budak karena dia miskin maka wajib
atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut secara sempurna, jika tidak mampu
juga secara penuh karena berbagai alasan yang dibenarkan, maka wajib atasnya
memberi makan enam puluh orang miskin setiap orang miskin sekali makan yang
mengenyangkan (semua kewajiban tersebut sebelum mereka bersentuhan).
Analisis
Hemat penulis bahwa pandangan M.
Quraish Shihab tentang melakukan zhihar pada ayat tersebut adalah haram dan
mewajibkan pelakunya untuk bertaubat.
Dan konteks zhihar pada ayat
tersebut yang menggunakan istilah zhahr, yakni punggung dalam pengertian M.
Quraish Shihab adalah ucapan seorang mukallaf (dewasa dan berakal) kepada
wanita yang halal digaulinya (isteri) bahwa wanita itu sama dengan salah
seorang yang haram digaulinya, baik karena hubungan darah, perkawinan,
penyusuan, maupun oleh sebab lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar