MAKALAH FIQIH MUAMALAH
Disusun oleh :
1.
Annisa Wulan Dari
14.41.015798
2.
Sandi Irawan
14.41.015957
AL AHWAL ASY-SYAKHSYIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
2015
A. PENGERTIAN IJARAH
Menurut Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I,
berpendapat bahwa Ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau
menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan
upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaludin A. Marzuki sebagai penerjemah
Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaaan terjemahan kata ijarah dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antar sewa dan upah juga ada perbedaan
makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,l seperti “Seorang
mahasiswa menyewa kamar untuk temapat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah
digunakan untuk tenaga, seperti “Para karyawan berkerja di pabrik di bayar
gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa arab uapah dan sewa
disebut ijarah.[1]
Jumhur Ulama Fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat
dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh Karena itu,
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan
manfaatnya, tetapi bendanya.
Menanggapi pernyataan dari Jumhur Ulama Fiqih, Wahbah Al-Juhaili
mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai
asal Ijarah sebagaimana ditetapkan Ulama Fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab
tidak ada landasannya, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas yang
shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit,
asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada
dan dapat dihukumi manfaat, sebagaiman dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil
manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil
manfaatnya.[2]
1.
(Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 113).
2.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
122/123).
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya
ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah atau terminologinya,
para ulama mengemukakan definisi-definisi Ijrarah, antara lain sebagai berikut
:
1.
Menurut syaikh
Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah :
“Akad atas manfaat yang diketahui dan
disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika
itu”.
2.
Menurut Sayyid
Sabiq bahwa Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian”.
3.
Menurut Hasbi
Ash-Shiddiqie bahwa Ijarah adalah :
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat
dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.’[3]
4.
Ulama
Hanafiyah
“Akad atas
suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
5.
Ulama Syafi’iyah
“Akad atas
suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
6.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah
“Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[4]
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat difahami bahwa
Ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah:
بَيْعُ
الْمَنْفعةِ
“Menjual
manfaat”
Dan upah
mengupah adalah :
بَيْعُ
الْقُوَّةِ
“Menjual tenaga
atau kekuatan”.
3.
(Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 114/115)
4.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
121/122).
B.
DASAR HUKUM IJARAH
Dasar-dasar hokum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah
dan Al-Ijma’.
Dasar Hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :
……..فَإِنۡ
أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ………………. ٦
Artinya
: ”..........kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya,………..”.(QS.At-Thalaq : 6)
قَالَتۡ
إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ
ٱلۡأَمِينُ ٢٦
Artinya
: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya". (QS. Al-Qashash : 26).
Dasar Hukum Ijarah dari Al-Hadist :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya : “ Dari Abdullah bin Umar, ia berkata
bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Berilah upah kepada para pekerja
sebelum keringatnya mengering." Shahih. Al Irwa' (1498), Al
Misykah (2987), At-Ta'liq Ar-Raghib (3/58), Ahadits Al Buyu'.(HR. Ibnu
Majah).
Landasan
Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka
yang berbeda pendapat, hal itu tidak diangga. [5]
5.
(Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 114/115
dan 116/117).
C.
RUKUN
DAN SYARAT IJARAH
1.
Rukun
Ijarah
Menurut ulama Hanafiayah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara
lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan
al-ikra.
Adapun
menurut Jumhur ulama, rukun Ijarah ada (4) empat, yaitu :
a.
‘Aqid
(Orang yang berakad);
b.
Shiqhat
Akad;
c.
Ujrah
(Upah);
d.
Manfaat.
2.
Syarat
Ijarah
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam
jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat
pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a.
Syarat
Terjadinya Akad
Syarat
in ‘iqat (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Menurut
Ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) di isyaratkan harus berakal
dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak di isyaratkan harus baligh. Akan
tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, di
pandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli
akad.[6]
b.
Syarat
Pelaksanaan (an-nafadz)
6.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
121/122).
|
c.
Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang berakad), ma’qud ‘alaih
(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad).
1.
Adanya
keridaan dari kedua belah pihak yang akad
Syarat
ini didasarkan pada firman Allah SWT.:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ....................................... ٢٩
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu............................”(QS.
An-Nisa’ : 29)
Ijarah dapat dikategorikan
jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan
‘aqid.
2.
Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada
ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
Di antara cara untuk
mengetahui ma’uqud ‘alaih (barang) adalah :
a.
Penjelasan manfaat
Penjelasan dilakukan agar
benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah mengatakan,” saya sewakan salah
satu dari rumah ini.”
b.
Penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak
memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan
syarat asalnya masih tetap ada, sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk
membatasinya.
c.
Sewa bulanan
Menurut ulama Syafi’iyah,
seseorang tidak boleh menyatakan, “saya menyewakan rumah ini setiap bulan Rp
50.000,00” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali
membayar. Akad yang betul adalah dengan menyatakan “Saya sewa selama sebulan”. Namun semua itu kembali kepada
keridhoan dan kesesuaian dengan uang sewa.[7]
7.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
121/122).
|
d.
Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan jenis pekerjaan
sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak
terjadi kesalahan atau pertentangan.
e.
Penjelasan waktu kerja
Tentang batasan waktu
kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
3.
Ma’qud ‘alaih harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah
memyewa hewan untuk berbicara dengan anaknya, sebab hal itu sangat mustahil
atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan yang sedang haid untuk untuk
membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
4.
Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan barang harus
digunakan untuk pekara-pekara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah
untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu, dan lain-lain.
5.
Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Diantara contohnya adalah
menyewa orang untuk shalat fardhu, puasa, dan lain-lain. Juga dilarang menyewa
istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban si istri.
6.
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang lain yang disewa
Tidak menyewakan diri
untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat tersebut adalah untuk dirinya.
7.
Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon
untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan
manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.[8]
D.
SIFAT
DAN HUKUM IJARAH
1.
Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, Ijarah
adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT. : اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ, yang boleh di batalkan.
Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalanya, bukan didasarkan pada pemenuhan
akad.
8.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
121/122).
|
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang
tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak
pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan
pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.
Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama hanafiyah, ijarah batal
dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada
ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah
kepada ahi wrisnya.
2.
Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah
termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang berkerja dibayar
lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.
Ja’far dan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Ijarah Fasid sama dengan
jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang
dicapai oleh barang sewaan.[9]
E.
MEKANISME DALAM BERAKAD
a.
Hak Perusahaan Pembiayaan
sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa
dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad
Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa
sebagaimana diperjanjikan.
b.
Kewajiban perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
1.
menyediakan objek ijarah
yang disewakan;
2.
menanggung biaya
pemeliharaan objek ijarah;
3.
menjamin objek ijarah yang
disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
c.
Hak penyewa (musta’jir),
antara lain meliputi:
1.
menerima objek ijarah
dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
2.
menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.[10]
9.
(Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm.
121/122).
6.
|
d.
Kewajiban penyewa antara
lain meliputi:
1.
membayar sewa dan biaya-biaya
lainnya sesuai yang diperjanjikan;
2.
mengembalikan objek iajrah
apabila tidak mampu membayar sewa;
3.
menjaga dan menggunakan
objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
4.
tidak menyewakan kembali
dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
F. OBJEK IJARAH
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi
ketentuan, antara lain:
1.
objek ijarah merupakan
milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2.
manfaat objek ijarah harus
dapat dinilai;
3.
manfaat objek ijarah harus
dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
4.
pemanfaatan objek ijarah
harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
5.
manfaat objek ijarah harus
dapat ditentukan dengan jelas;
6.
spesifikasi objek ijarah
harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik,
kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.[11]
G.
PERBEDAAN ANTARA YANG AKAD
Seringkali terjadi perbedaaan pendapat diantara kedua belah pihak yang
melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau
diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan
maupun sesudah jasa diberikan.
Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus
bersumpah, sebagaimana disebutkan pada Hadist Rasulullah SAW, :
اِذَااخْتَلَفَا الْمُتَبَا نِ تَحَا لَفَا وَتَرَا دَّا (رواه اصحاب السنن الأربعة و أحمد و الشافعى(
Artinya : “Jika terjadi perbedaan di antara dua orang yang berjual beli,
keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Al-Arba’ah,
Ahmad, dan Imam Syafi’i)
12. (Prof. DR.
H. Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, hlm. 121/122).
13.
|
H.
BERAKHIRNYA IJARAH
1. Objek hilang atau musnah,
2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah
berakhir,
3. Menurut ulama hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad.
4. Menurut ulama hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu
pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang
banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang
boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang
dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.[13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar