A. Berdirinya
dinasti abbasiah
Nama
dinasti Abbasiyah –sebut Abbasiyah—diambilkan dari nama salah seorang dari
paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Mutalib ibn Hasyim. Orang
Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas kekhalifahan Islam,
sebab mereka adalah dari cabang bani Umayah yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang
Umayah secara paksa menguasai khilaifah melalui
tragedi perang Siffin. Oleh karena itu
untuk mendirikan Dinasti Abbasiah mereka mengadakan gerakan luar biasa
melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayah .
Telah
dijelaskan, bahwa saat Kekhalifahan Umayah dipegang Umar II, gerakan bawah
tanah yang merupakan rival politiknnya menyusun kekuatan. Salah satu kekuatan
politik yang kontra dengan kebijakan “Machiavellian” model Umayah adalah para
pengikut Nabi dari keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai arena propaganda,
mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon
dan symbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’ahtu Ali maupun Syi’Athtu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya
melandasi berdirinya Kakhalifahan Abbasiah.
Telah
disebutkan, pada 746 M Maryam ddk.,(2004:100) mencatat, bahwa pertempuran
tersebut terjadi pada Februari 750 M. dalam peperangan di Dzab II, gerakan
Abbasiah mencapai hasil, dengan mengalahkan Khalifah Marwan II yang melarikan
diri ke Mesir. Tahun itu juga, di Mesjid Kufah (Irak) Abu al-‘Abbas al-Saffah
–selanjutnya sebut Saffah—mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama
Diansti Abbasiah. Pada Januari 750 M/132 H, Marwan II dibunuh oleh pasukan
Abbasiah, maka mulai saat itulah secara de
facto berdiri dinasti baru, Dinasti Abbassiah. Setelah menjadi khalifah,
Abu al-Abbas bergelar al-Saffah (penumpah
darah/peminum darah) mengeluarkan dekrik pada para gubernur, supaya tokoh-tokoh
Umayah yang memiliki darah biru semuanya dibunuh. Ia sendiri juga sudah
membunuh banyak rival dari dinasti itu. Bukan hanya diam sisitu saja, Saffah
menggali kuburan khalifah Umayah –kecuali Ummar II— dan tulang-tulangnya pun
dibakar. Oleh karena itu, rakyat Damaskus, Harran, Hims, Kinnisirin, Jaruzalem,
dan daerah lainnya memberontak. Api pemberontakan itu dipadamkan tangan besi
oleh rezim Saffah (Brocklmaan, 1949:100-107, dan Karim , 1972: 265-267).
Sebelum
Saffah wafat (754 M), ia menganggkat saudaranya, Abu Ja’far dengan gelar al-Mansyur
(sebut Mansur) sebagai penggantinya. Semula ibu kota pemerintahan
dipusatkan di Ambar, dengan nama istana negaranya, al-Hasyimiah. Setelah Mansur
memerintah ia memindahakan ibu kotanya Baghdad, hal ini dikarenakan Ambar
terletak di antara Syah dan Kufah yang selalu medapat ancaman dari kaum Syi’ah,
maka pusat pemerintahan di daerah yang lebih aman, Baghdad (762 M) dengan nama Dar- al-Salam ( Ali, 1976:473). Demi keamanan dari lawan
politiknya seperti orang Rawandiah, maka Mansur membangun sebuah kota yang
indah dan aman di tepi Tigris, kemudian dijadikan ibu kota baru Abbasiah hingga akhir periode akhir
dinasti ini (Karim, 1972 (1):272,277, dan 284).
Baik
Saffah maupun Mansur merupakan khalifah yang dikenal sebagai pembunuh massal,
bahkan keduanya menyingkirkan para rival politiknya. Misalnya, panglima dan pemenang
perang di Dzab II, Abdullah ditangkap
dan setelah tujuh tahun berada di penjara selanjutnya dibunuh Mansur. Kelompok
Syi’ah yang lain yang telah bnayak membantu bagi proses berdirinya dinasti ini
di bawah pimpinana Abu Muslim Khurasani. Ia merupakan sang proklamator
pertaman Dinasti Abbasiah di Khurasan
(747 M) yang penah membunuh sekitar 600.000 orang Umayah demi berdirinya
kekuasaan Abbasiah. Akan tetapi ia ducurigai Mansur sebagai pesaing politik, di
samping itu menurut catatan Hunh Knnedy,
The Early Abbasid Caliphate, hlm. 58: sebab Khurasani tidak mau tunduk
kepada khalifah dan tidak mau membagi kekuasaannya dengan Baghdad, maka ia
dipanggil dan dibuinuh saat bertemu dengan Mansur. Selain itu Mansur juga
merasa adanya ancaman dari sekte Syi’ah yang enggan tunduk padanya dan rakyat
kecewa denga pemerintahan baru.
Selain
kedua rival itu, pimpinana karismatis sekte Syi’ah, Muhammad ibn Abdullah ibn
Hasan ibn Ali, yang terkenal dengan sebuatan Imam nafs al-Zakiyah telah bersumpah setiua - - dalam acara pertemuan dengannya
dijanjikamn oleha Saffah dan Mansur sebagai imam dan kepala negara – kepadanya
sebagai imam dan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani Umayah. Rakyat
Hijaz dan Yaman mengakuinya sebagai khalifah mereka termasuk Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik menyatakan “ NAfs
al- Zakiyah sebagai khalifah yang sah”. Akan tetapi, justru dibunuh Mansur,
di mana kedua saudara yang dihormati banyak orang kalangan Syi’ah maupun bukan Syi’ah (B rocklmaan,
1994: 107-113 Dan Rahman , 1997:100-1001). Meskipun Mansur tidak menghormati Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik, mereka disiksa dan dipenjarakan, namun Mansurlah yang banyak membantu
menetaokan secara formal mazhab Sunni.
Di sinilah ia abadi dikalangan ahl
al-Aunnah wal Jama’ah. Mansur tidak diam disitu saja, setelah kedua saudara
itu disingkirkan dari gelanggang politik, ia juga membunuh dimuka umum secara
massal keluarga Ali, Hasan Husen, simpatisan dan para pengikutnya. Bukan hanya
itu, ia membatalkan keputramahkotaaan ‘Isa, pilihan Saffah dan mengangkat
puteranya Mahdi sebagai putra mahkota baru.
Pada
masa Khalifah Mansur dalam bidang politik, negara cukup stabil dan maju,
setelah ia memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadsis di Heart yang
menyatakan dirinya sebagai nabi, menguasai Khurasan dan Sizitan yang sangat
luas. Ia ditangkap dan dibawa ke Baghdad. Sebuah cerita melukiskan, bahwa Harun
al-Rasyid menikahi putri Ustadsis
yang melahirkan al- Ma’mun --sebut Ma’mun-- (Ali, 1976:474). Di Afrika Utara
Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan berdirinya Abbasiah untuk
mengulingkan Umayah –karena mereka berfaham demokratis dan menganggap
kekhalifahan tidak harus dari golongan tertentu (Quraisy)-- akan tetapi boleh saja dari suku dan bangsa mana pun asal
memenuhi syarat- akhirnya kecewa dengan sikap Mansur yang satu persatu
menyingkirkan tokoh-tokoh yang berjasa guna menumbangkan Dinasti Umayah untuk
mendirikan Dinasti Abbasiah. Pada akhirnya, mereka menarik dukungan dan
mengganggu kestabilan politik Abbasiah. Mereka juga kecewa dengan sikap
Abbasiah terhasap mereka yang berat sebelah dengan orang Persia. Gerakan dan
pemberontakan baik Berber maupun Khawarij dapat dipandamkan dibawah panglima
merangkan amir , Yazid ibn Hasan
al-Muhallab (772 M) yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik
Islam di Afrika Utara.
Saat
Khalifah Mansur sibuk dalam urusan dalam neger, tentara Bizantium menyerang dan
mengganggu di wilayah perbatasan barat laut. Akhirnya, mereka dapat mengalahkan
tentara Raja Konstantinopel IV yang damai sama Islam, khalifah membangun banyak
benteng kokoh di sana. Selain Saffah, semua khalifah Abbasiah menganggap
kekuasaannya berasal dari Allah,divine
origin (Mansur menyatakan, Ana
khalifatullahi fi (‘ala al-Ard) Ardihi: saya adalah Khalifah Allah di muka
bumiNya,… Ana Sultanullah fi (‘ala
al-Ard) Ardihi: Saya adalah kekuasaan Allah dimuka bumiNya… dan Ana Zillullahi fi (‘ala al-Ard) Ardihi: saya
adalah bayangan Allah dimuka bumiNya) dan menjadi penuntun yang sebenarnya bagi
kaum muslim (Husaini, 1949:174-175, Ali, 1976:474, dan Karim, 2006 [2]:19).
Dengan demikian, sejak masa kepemimpinan Mansur dalam diri seorang khalifah
terdapat dua jabatan, yaitu khalifah, sebagai jabatan sacral (disamaka dengan
Paus sebagai jabatan keagamaan, walaupun kedudukan khalifah tidak persis
seperti jabatan dan tugas seorang Paus, sebab secara nyata jabatan khalifatullah diciptakan untuk
kesuksesan politik semata) dan sebagai raja seperti Raja Sizar. Dengan adanya
jabatan sacral itu, maka sejak Mansur para khaifah Abbasiah tidak membutuhkan
pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh khalifah (Husaini,
1949:174-175 dan Karim, 2006 [2]:19).
Selain
Saffah semua khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaannya berassal dari Allah (devini origin) dan menjadi penuntun yang
sebenarnya bagi kaum muslim. Para khalifah memegang amanat kekuasaan untuk
menjadi penyelamat umat. Gelar al-Mansur,
al-Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid mengindiakasikan, bahwa mereka mengklaim diri
mendapat tutunan dari Allah di jalan yang lurus untuk membawa pencerahan dan
untuk mengembalikan umat Islam ke jalan yang benar. Mereka juga menjadi
pelindung ulama dan ilmuan. Tidak seperti masa sebelum Mansur, para khalifah
merupakan jabatan prestisius baik untuk bidang politik maupun dalam bidang
keagamaan dan ini berlanjut. Hal ini sangat berbeda dengan periode al-Khulafa al-Rasyidun di mana khalifah
adalah pelayan rakyat dan dipilih rakyat. Pada era Umayah, meskipun terlihat
monarki, namun para khalifah masih membutuhkan pengakuan rakyat. Misalnya demi
pengakuan rakyat untuk mengangkat puteranya, Yazid sebagai putra mahkota,
Munawiah memakssa penduduk Mekah-Madinah dengan mengangkat pedangnya, seraya
berkata, jika keinginanku untuk kesejahteraan dan ketentraman rakyat, serta
dengan tujuan pokok ingin menyelesaikam problem seksesi (Husaini, 1949:172-173
dan Karim, 2006 [2]:19).
Telah
disebut, bahwa setelah Mansur berkausa terdapat perubahan corak kepemimpinan
dalam Islam, yang pasca Abbasiah, diteruskan oleh Dinasti Mamluk terakhir disandang
oleh para penguasa Turki Usmani sendiri (mulai sejak Salim, I, 1517) sampai
Mustofa Kemal Atta Turk yang mengusir (menghapuskan) Sultan Turki merangkap
khalifah itu dari tanah Turki, 1924 M (Itzkowitz, 1972:38).
Setelah
memperkokoh posisi sendiri dan kedaulatan Abbasiah yang cukup kuat, Mansur
mulai melakukan ekspansi ke luar. Salah satunya disebabakan pemimpin suku Turan
di pengunungan Tabaristan dan Ispahan sering mengganggu wilayah-wilayah muslim
dan menyiksa penduduk di sana. Oleh karena itu pangeran Mahdi memberi pelajaran
dengan menaklukan daerah itu termasuk Tabaristan dan Gilan menjadi dalam
genggaman Mahdi. Selanjutkan Khalifah menganeksasi Kurd --Iraq Utara, Iran
bagian Barat Laut, dan Turki Tenggara sekarang--, Asia Kecil, Gergia, dan
Mousul, setelah para pembangkang daerah itu didiamka oelh panglima Khalid ibn
Bermak. Walupun Mansur memperkokoh dan menaklukan Asia-Afrika, namun Oman Sind,
dan sebagian dari Khurasan tidak sepenuhnya mengakui khalifah baru ini.
Sebagian besar Afrika Utara rerutama Eropa Barat Daya --Andalusia-- lepas dari
kedaulatannya setelah al-Dakhil dapat membunuh panglima dan Gubernur Jendral
al-maghrib di Qayrawan yang dikalahkan dan kepalanya dikirim ke Baghdad
(diuraikan di Bab VII).
Setelah
Mansur wafat pada 755 M, Mahdi menjadi khalifah (775-785 M), yang popular
bersikap sangat lunak terhadap rival politiknya, lebih dermawan, dan lebih
berperan dalam pembelaan Islam. Periodenya identik dengan negara aman dan
kekayaan dalam negeri bertambah. Masa ini terjadi perubahan yang paling utama
adalah, fraksi plitik Khurasan san sekelompok militer mulai menjadi saingan keluarga
Kekhalifahan Abbasiah . di smaping itu, sekretaris (kuttab) menjadi kelompok penekan. Selain itu adalah kelompok mawali yang semula berasal dari budak
selanjtnya telah dimerdekakakan. Sebelum wafat Mahdi mengangkat dua orang
putera mahkota: Hadi dan Harun, supaya kekuasaan tetap ditangan keturunan dari al-Abbas,
apabila salah satunya mendadak wafat, amsih terdapat satu putera mahkota
pengganti. Hal ini juga yang menjadi sumber kekacauan, kericuan, dan persaingan
berebut kekuasaan. Setelah Mahdi wafat penggantinya, Hadi mengendalikan
kerajaan dengan keras. Ia tidak menghargi mawali
yang menjadi tulang punggung saat revolusi dan berdirinya Abbasiah. Hadi melangar
keputusan ayahnya yang menggangkat saudaranya, Harun sebagai penggatinya,
justru menganggkat anaknya sendiri, Ja’far. Tiba-tiba Hadi wafat 786 M, maka
saudaranya, Harun al-Rasyid --sebut Harun- (786-809 M) dibai’at oleh
pendukungnya menjadi khalifah. Setelah kuat posisinya, Harun memaksa Ja’far
untuk meninggalkan kekuasaannya (Maryam dkk., 2004:101-102). Periodenya identk
dengan Islam memasuki The Golden Age of
Islam.
Mahdi
mempercayai pendidikan anaknya, Harun kepada Khalid ibn Yahya al-Barmaki, dimana
ikatan keluarga Barmak dengan Abbasiah sangat erat. Keerdasan, kesetiaan, dan
pengabdian mereka kepada Abbasiah yang dinyatakan Ammer Ali: usaha mereka
(keluarga Barmak) yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan, kebahagiaan
rakyat serta memeprekokoh dinasti ini. Juga kekayaan negara meningkat tajam dan
dimana-mana adanya usaha untuk meningkatkan berbagai macam budaya yang memabawa
Diansti Abbasiah pada keemasan (Ali, 1976:491).
Pendiri
kelaurga adalah Khalid Barmaki, asal Persia yang ayahnya menjabat sebagai ketua
bhiksu bidara Budha di sana. Khalid masuk Islam pada saat kawasan Asia Tengah
ditaklukan oleh Qutaibah ibn Muslim. Ibnu Khaled saat itu merupakan salah satu
tawanan di Balakh. Pada masa Mansur, Khalid menjabat sebagai kepala keuangan,
kemudian menjadi Gubernur Tabaristan yang meredam ;pemberontakan. Salah satu
peran pentingnya adalah sebagai penasehat Khalifah Mansur. Implikasinya saat
itu muncul cikal bakal sebuah keluarga Wariz yang mansyur, atau disebut juga ahl al-kalam, masyarakat penulis (Hitti,
2005: 365-367). Mahdi, mempercayakan pendidikan Harun kepada putera Khalid,
yang bernama Yahya. Barmak yang di panggil Harun secara hormat dengan sebutan
“bapak”.
Setelah
Yahya wafat (805), kedua anaknya Fadl dan Ja’far secara praktis memerintah ari
786 sampai 803 M. ‘Istana Ja’far menjadi kediaman utama dari istana-istana yang
dibangun, yang kemudian ditempti oleh Ma’mun dan diubah namanya menjadi Istana
Khalif. Saat itu mulai muncul pengaruh Persia, yang mempengaruhi hamper segala
bidang, salah satu yang paling maju adalah kegiatan ilmiah. Oleh karena itu,
tepat bahwa “dalam baju Arab pengaruh persialah yang paling menghiasi Abbasiah
yang mewakili bangsa Arab”.
Hubungan
mesra ini berakhir dengan tidak cocok, sebab kecurigaan hubungan khalifah dengan
keluarga Bermak melenceng dari tatanan moral. Pendapat sebagian sejarawan yng
dicatat Ali (1976:494), diperkuat oleh Hitti (2005:367-368), dan Muir (1892:
478), “drama kecintaan saudara perempuan Harun, Abbasah dengan PM Ja’far yang
diam-diam menikah , --yang telah melahirkan anak laki-laki yang disembunyikan
di Mekah tanpa diketahui khalifah yang khawatir menjadi pesaing politik-- adalah penyebab utama lengsernya keluarga
Barmak yang bersahaja selama 17 tahun pada periode Harun yang gemilang telah
berkhir”. Tiba-tiba malam hari Ja’far dibunuh, Yahya yang lanjut usia ditangkap
dengan Fadhl (w. di penjara). Ibn Khaldun menolak tentang drama cinta antara
Abbassh dan Wariz. Menurutnya itu adalah dongengnya Harun. Bagi Khaldun alas an
pokok adalah khawatir kewibawan khalifah menurut akibat terlalu aktifnya
keluarga Barmak baik dalam bidang politik maupun sipil. Misalnya, kadang-kadang
keperluan khlaifah dengan uang yang jumlahnya sedikit pun ia tidak dapatkan
warisan sari wazirnya. Harun tidak mau adanya dua matahari dalam satu
pemerintahan. Hitti mencatat (2005:368), bahwa semua kekayaan Barmak yang
berjumlah 30.676.000 dinar belum termasuk lading, istana, perabotan dan
lain-lain disita.
Di
antara 12 putera Harun, hanya ditubuh
al-Amin (sebut Amin) lah mengalir drah –perkawinan dengan sepupunya ,
Zubaidah-- murni Arab, meskipun Amin tidak secakap dengan abngnya Ma’mun,
ditentukan dengan wasiat khalifah sebagai putera mahkota II, sedangkan posisi
putera mahkota III dan IV jtuh kepada Qasim dan Abu Ishaq. Ibu ketiga putera terakhir adalah mawali (budak). Itulah penyebab utama
sumber konflik antara Amin dan Ma’mun. setelah Harun (w.809 M), sesuai dengan
wasiat ayah mereka amin menjadi khalifahdan Ma’mun menjadi penguasa di Khurasan
yang mengakui kedaulatan Amin sebgai khalifah yang sah. Demikian juga Qasim di
Awasim dengan ibu kota Kinnisirin. Meskipun awalnya mereka rukun, tetap
akhirnya menjadi konflik dan perang saudara antara Amin dan Ma’mun yang
memenagkan oleh Ma’mun. Amin akhirnya menyetujui untuk menyerah di tangan
panglima Ma’mun, bernama Harsama yang kemudia ternyata ia terbunuh pada malam
hari (September 813 M) di tangan sekelompok orang yang fanatik --mungkin
karena Harsama asangat setia dengan
Ma’mun. Kekalahan Amin dan pengukuhan Ma’mun sebagai khalifah, membawa
perubahan besar atau era baru dalam sejarah Islam. Khalifah baru tidak seperti
pendahulunya yang suka berfoya-foya, hidup mewah, pemalas, atau licik. I sangat
mencintai ilmu, ilmuan , dan
kemajuannya. Oelh karena itu, Ma’mun memepercayakan untuk menjalankan tugas
negara kepada Wariz, Fadlan, dan ia pergi ke Merv dan disana ia tenggelam dalam
keasyikan ilmu pengetahuan dan filsafat dengan para cendikiawan dan filosof.
Hal ini menyebabakan tidak stabilnya roda pemerintahan. Satu sisi bunda Zubaydah
diasingkan ke Mosul, maka penduduk Baghdad menjadi gusar padanya. Di sisi lain,
kesewenang-wenangan Wazir dalam memerintah, menyebabkan banyak rakyat yang
tidak suka kepadanya. Selain itu, khalifah sangat terpengaruh dengan sikap para
mawali Persia, terutama, penduduk
Kufah, Basrah, dan lain-lain yang memberontak di bawah pimpinan Abu Saraya yang
ingin mendirikan pemerintahan Syi’ah. Sebab, sejak Mansur mereka kecewa dengan
sikap Abbasiah yang membunuh imam dan
tokoh-tokohkarismatis syi’ah mereka. Sementara itu ibunda Ma’mun, Sarahjil
(Marajil) adalah seorang yang tubuhnya mengalir darah murni Persia,
menyebabakan rakyat Persia memanggilnya dengan sebutan baru Kemenakan. Jadi
pada periode Amin sudah tampak sekali adanya 2 kubu, kubu Arab pendukung Amin dan
kubu Persia sebagai pendukunfg setia Ma’mun.
Pada
saat itu, terdapat konspirasi yaitu membatalkan keputraan mahkota Ma’mun dan
menggangkat dua putranya Amin yang masih balita yaitu Musa dengan gelar Natik
bin al-Haq dan satu lagi dengan gelar Qain bin al-haq. Dengan ini, khalifah
mengkhianati surat wasiat ayah mereka yang ditandatangani di bait al-Haram.
Amin mengambil surat sakit atau wasiat itu dan di robek-robek kemudian dibuang.
Di samping itu Wazir yang pengkhianat ingin menguasai politik secara keseluruhan.
Oleh karena itu, ia meneggelamkan khalifah dalam kemewahan yang berkarakter
rendah, suka hidup dengan wanita, dan enggan memperhatikan urusan negara. Hal
inilah yang menurunkan wibawa Amin di mata masyarakat menjadi salah satu
penyebab utama terjadinya konflik keluarga dan makin hari makin menurun
popularitasnya. Padahal sangat lihai dalam permainan politik defied at impera. Ia sudah mengetahui
segala kelemahn Amin, maka menggunakan taktik baru yaitu membebaskan pajak atau
memberikan izin untuk penundaan pembayaran pajak, bagi rakyat diwilayah
kekuasaan Ma’mun di Persia mendorong popularis Ma’mun menjadi meroket.
Kecerdikan
padahal itu tercium oleh Amin yang akhirnya mengirimkan mata-mata ke wilayah
Ma’mun. cerdik Ma’mun segera menutup perbatasan dan menambahkan tambahan
petugas di wilayah perbatasan kekuasaan antara dua saudara. Dengan demikian,
secara tidak langsung pemerintahan yang ditinggal khalifah Harun terbagi dalam
dua bagian antara Amin dan Ma’mun. Fadhal yang licik dan lihai mengirim 50.000
tentara untuk melawan tentara Ma’mun
sekaligus mengumumkan segala kekayaan Ma’mun yang ada di Baghdad disita
termasuk pemberian Harun sebanyak 100 juta dirham kepadanya. Saat tindakan-tindakan
fadhal yang mengadu domba antar saudara mencapai puncaknya maka Ma’mun
mengumumkan dirinya sebagai khalifah (Mei, 811 M), dan Fadhal menjadi perdana
menteri. Saat-saat itu lah terjadi puncak konflik antara saudara. Dua orang
panglima yang masyur, Tahrir ibn Husain dan Harsama memihak Ma’mun dan menuju
ke Baghdad di mana dalam peperangan (Maret, 812) Amin kalah dan lengser dari
jabatan dari kekhalifahan di Baghdad.
Khalifah
baru ini juga menghadapi persoalan-persoalan banyak di antaranya kaum Syi’ah masih belum putus asa untuk
menguasai politik, dengan tidak adanya khalifah --setelah menajdi khalifah,
Ma’mun menyerahkan tugas kepala negara ke Fadhlan. Ia memerintah dengan sangat
kejam serta semena-mena menyebabkan banyak pembesar negeri dan rakyat marah
kepadanya. Dengan kelicikannya ia memberikan peluang pada Ma’mun untuk
tenggelam dalam kegiatan aktifitas ilmah di Marv. Mereka di bawah pimpinan
Muhammad ibn Ibrahim terkenal dengan “Tabataba” yang bergabung dengan pemimpin
Syi’ahlain, yaitu Sahara, yang memberontak di Iraq. Mereka menguasai Kufah dan
Basrah yang dipadamkan oleh panglima kesayangan Ma’mun, Harsama. Kemudian
putera Musa al-Kazim, Muhammad memberontak di Mekah yang menyatakan dirinya
sebagai khalifah pun dikalahkan tentara. Namun, Harsama yang begitu setia
kepada Ma’mun, khirnya tumbang karena politik kotor Fadhlan yang mencari muka
di hadapan khalifah. Wazir Fadlal menangkap, memenjarakan, dan membunuhnya
disana. Saat kondisi politik negara yang parah, Ma’mun menikahkan putrinya dengan imam Syi’ah, ‘Ali Reza dan diangkat (817 M) sebagai
putera mahkota dan menggantikan bendera Abbasiah warna hitam dengan bendera
Syi’ah yang berwarna hijau, kemudian menjadi warna bendera Dinasti Fatimiah di Afrika (Rahman, 1977:110-112).
Tindakan khalifah tiu membawa dampak negatif.
Pada
perkembangan selanjutnya, orang Abbasiah dan tentara marah atas tindakan Ma’mun
itu. Mereka menyerang Baghdad, merampas, dan merazia harta benda. Imam Reza
menggambarkan situasi ibu kota kepada khalifah termasuk kelicikam dan adu doba
fadhal yang menguasai politik menyebabkan akhirnya khalifah meninggalkan Merva
dan kembali ke Baghdad. Fadhal mulai menyiksa para pengikut Reza. Mereka di
bunuh dan ada yang dipenjarakan. Penyiksaan dan dan kelaliman Fadhlal tidak
bertahan lama, beberapa pengikutnya dari Persia marah dan akhirnya membunuhnya.
Pada 818 M, imam Ali Reza mendadak wafat membawa dinasti ini selamat dari
nyaris perpecahan. Tahun berikutnya, Ma’mun masuk ke Baghdad dan menguasai
politik. Ia mengubah warna bendera kembali menjadi warna hitam, menyebabkan
para pengikut Syi’ah dengan gusar mengangkat Muhammad ibn Ibrahim sebagai Imam
--Syiah Zaidiah-- di Yaman. Meskipun hanya secara formal mengakui kedaulatan Abbasiah, namun mereka
berkuasa di Yaman secara bebas selama lima generasi di sana (Ali, 1976:
515-517).
Menjelang
wafat seperti kebisaan para pendahulunya, Ma’mun juga membatalkan wasiat
ayahnya, yaitu Qasim dan putera sulungnya, “Abas diganti saudara Ma’mun yagn
lain, yaitu Abu Ishaq Muhammad dengan gelar al-Mu’tasim bi Allah(833-842 M)
sebut --Mu’tasim-- yang benar-benar ahli,cakap, dan lebih mampu menjadi putera
mahkota. Ma’mun adalah seorang penguasa yang terkenal baik di dinastinya bahkn
ia adalah seorang penguasa masyur yang terbaik antara para penguasa dunia.
Ialah yang secara resmi menyatakan fahan Mu’tazilah sebagai aliran resmi
negara. faham ini ditolah oleh salah satu pendiri mazhab, Imam Ahmad ibn Hanbal
yang akhirnya ia bersama 20 ulama dimasukan ke penjara (Ali, 1976:515-517).
Pada
masa Ma’mun ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual mencapai puncaknya. Ia
mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad
yang menjadi pusat kegiatan ilmiah terutama ilmu pengetahuan nenek moyang Eropa
(Yunani). Dalam masa itu banyak karya-karya Yunani diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Selanjutnya model ini dikembangkan di Dar al-hikmah, Kairo, kemudian diterima kembali Barat melalui
Cordova (Qasar al-Zahra), dan kota-kta lain di Andalusia.
Mu’tasim
selain kepandaian, memiliki semua sifat dan karakter pendahulunya, Ma’mun, seperti pro-Persia yang simpati pasa
aliran Syi’ah, dan bahkan ia lebih fanatic mendukung penerapa pahan Mu’tazialah
terutama tentang keyakinan, bahwa Al-Qur’an itu diciptakan (makhluk). Demi
untuk melaksanakan ide itu dan keamanan ibu kota terutama menjembatani pengaruh
dari tentara Persia yang sudah membuat onar dan ugal-ugalan di ibu kota, akibat
tindakan-tindakan khalifah yang fanatik dan berat sebelah dengan penerapan
paham rasional itu. Oleh karena itu, ia mengundang tentara bayaran Turki yang
juga kemudian hari menjadi --mereka adalah-- salah satu penyebab kejatuhan
Dinasti Abbasiah.
Semakin
kuatnya posisi Turki di kalangan militer pada era Mu’tasim, berdampak dari
warisan Mu’tasim yang mengggangkat para perwiranya bagi bagsa Turki yang
sebetulnya dengan harapan; para perwiranya dari bangsa Turki yang sebetulnya
dengan harapan; para tentara itu dapat membantu kedudukan khalifah, ternyata
semasa Watsiq mereka membuat keonaran dan menyerbu untuk mendapatkan kekuasaan
yang penuh. Kemudian, pada zaman Mutawakkil, mereka berhasil menikmati sebagian
besar dari kekuasaan kerajaan. Semasa Muntasir mereka dapat berkuasa penuh
(Sylabi, 1993: 309). Orang Turki, sungguh berkuasa penuh, mereka tetap membiarkan
jabatan khalifah dipegang oleh Bani Abbas. Hal ini karena kedudukan khalifah
dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat.
Namun, mereka telah berhasil mengatur roda pemerintahan sehingga dapat memilih
dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Kondisi ini terjadi
setelah Mutawakkil wafat dan pemerintahan dipimpin para khalifah yang lemah. Lemahnya
kekhalifahan di pusat menyebabkan daeah-daerah yang terletak jauh dari pusat
pemerintahan, membebaskan diri dari kekuasaan di pusat dan mendirikan
dinasti-dinasti kecil.
Khalifah
Mu’tasim abadi dengan pendirian kota Samrra. Perlu di catat, bahwa dengan
bertambahnya tentara yang sebenarnya adalah semula menjadi budak Turki yang
bekerja sebagai pengawal khalifah, menyebabkan tentara Persia dan Arab akhirnya
gusar --yang makin hari mereka menjadi makin lemah-- dan ibu kota sudah tidak aman lagi. Hal
inilah penyebab utama didirikannya ibu kota baru yang sangat indah di Samarra,
sekitar 60 mil sebelah utara Baghdad (Karim, 1972;310-312). Setelah enam tahun
berkuasa, menjelang wafat tidak seperti para pendahulunya --menunjuk
pengganti--, Mu’tasin tidak menunjuk
siapapun sebagai penggantinya. Puteranya Harun dengan gelar Wathiq bi Allah
(842-847 M) –sebut Wathiq-- menggantikan ayahnya. Kebijakannya sangat dibatasi oleh
kebijakan ayahnya dan sangan bergantung pada tentara Turki yang sudah mulai
pengaruhnya sejak ayahnya berkuasa. Semasa pendahulunya, Mu’tasin, tentara
Turki Ashfin dan Ashnash yang sebenarnya menguasai kekuasaan. Kedua jendral
saling bersaing yang akhirnya yang pertama dibunuh oleh yang kedua. Pada 841 M
Ashnash menyatakan dirinya sebagai Amir
al-Imarah. Jumlah mereka makin lama makin bertambah, menyebabkan selama 100
tahun ke depan sejarah Abbasiah identik dengan sejarah Turki. Setelah Washiq
wafat, puteranya Mutawakkil (847-369) yang terkenal periodenya dengan
menyingkirkan semua rival politik dan menyiksa Yahudi dan Nasrani dan
membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara diganti dengan
kepercayaan Sunni dan Agama.
Seperti
Harun, Mutawakkil juga membagi kekuasaannya kepada tiga puteranya dengan
membagi wilayah kekuasaannya juga tiga. Wilayah barat diberikan pada Mustansir,
sedang wilayah timur diberiakan kepada putera kedua yang berusia tiga tahun,
dan Syam diserahkan kepada putera bungsu yang masih bayi. Masing-masing mereka
ditunjuk seorang wali. Para wali inilah yang berkuasa sewenang-wenang. Setelah
40 hari berkuasa , Menteri Ahmad bersama
dengan Budgha, dan Wasif memaksa Mustansir untuk membatalkan wasiat ayahnya
yang menunjuk dua saudara lain sebagai pewaris tahta. Setelah enam bulang
berkuasa, Mutassir wafat, maka para petinggi Turki mengangkat cucu Mu’tasin,
Musta’in (862-866) sebagai khalifah. Pada masanya, keadaan negara ssnagat tidak
sehat sampai membayar gaji tentara pun sangat sulit. Para Turki --Bugha dan
Wasif mengancam akan membunuhnya-- memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan
kepada al-Mu’taz (866-869). Setelah berkuasa, Mu’taz menyingkirkan semua rival
temasuk Bugja san Wasif. Namun, tidak lama lagi ia bertahan sebagai khalifah,
para jenderal akhirnya juga memaksa untuk menyerahkan kekuasaan. Selanjutnya,
para jenderal Turki mengangkat putera Wasiq, Muhtadid bi Allah(868-870),
sebagai khalifah. Sebelas bulan kemudian nasibnya dialami yang sama seperti
pendahulunya. Para jenderal akhirya mengangkat Mu’tamid (870-892), putera
Mutawakkil sebagai khalifah. Sejak khlaifah berikutnya (al-Mu’tajid bi Allah
892-902) sampai khalifah al-Qaim bi Allah (1031-1075) sebanyak sepuluh orang
khalifah berkuasa, akan tetapi yang kekuasaan dikendalikan oleh para amir dari Dinasti Buwaihiah.
Dinasti Buwayhiah (Buwaihid)
Telah disebut bahwa sejak Khalifah
Ma’mun di tubuh pemerintah, istana, maupun kalangan tentara pengaruh Persia
sangat dimonan yang menyebabkan tentara Turki yang diundang Khalifah Mu’tasim
untuk mengurangi pengaruh mereka. Hal ini menjadi bumerang, dan bagaikan
“menggali sungai, mengundang buaya”.
Dikemudian hari para tentara itu menguasai istana dan memerintah seenaknya
sebagai amir al-umara (Hitti,
1960:598). Hal ini berlanjut sampai masa khalifah-khalifah berikutnya. Untuk
melepaskan khalifah dari hegomoni pengaruh Turki ini, karena tidak tahan
perbuatan-perbuatan kasar dan sikap kasar terhadap penduduk Baghdad, maka
Khalifah al-Mustakfi bi Allah (944-946 M) terpaksa mengundang dan meminta
bantuan kepada pemimpin Buwayhia, Ahmad ibn Abu Shuza’ yang beraliran Syi’ah.
Sekte ini muncul di Dylam, pesisir utara Laut Kaspia sekitar awal abad ke-10 M, kemudian menguasai Ispahan,
Kirman, Ahwas, dan sekitarnya dengan Shiraj sebagai Ibu Kota.
Ahmad menyeberang
Baghdad (945 M) dan berhasil mengusir tentara Turki. Akhirnya mereka lari dari
Baghdad. Hal ini meruapakan peluang besar bagi Ahmad yang menjadikan khalifah
lemah dan bonekanya. Atas namanya, dinasti ini di sebut Dinasti Buwayhia
(Hasan, 1975:451).
Pendiri Buwayhia
dengan mengambil gelar Mu’iz al-Daulah dari khalifah Mustakfi Billah, ia
memerintah sebagai wazir utama (amir al-umara) dan mengambil segala
kekuasaan atas nama orang Sunni. Untuk mengurangi hingga menutupi wewenang
khalifah dalam pemerintahan, Ahm ad memakai gelar Sultan. Dengan mencetak mata
uang atas namanya, menyebut namanya dalam khutbah jum’at, Mu’iz menghabisi
kedaulatan khalifah dengan cara ia mencukil mata khalifah menjadi buta dan
mendudukan Mukti, anak khalifah Muktadir sebagai khalifah. Setelah Mu’iz,
puteranya, ‘Iz al-Daulah berkuasa (967 M). Sejak itu, kekuasaan mutlak ada di
tangan para wazir/ sultan dari Dinasti Buwayhia. Periode ini adalah masa paling
buruk dalam sejarah Institusi Kekhalifahan Abbasiah yang berpaham sunni. ‘Iz
al-Daulah di lengser oleh Sultan Azd al-Daulah. Ia memakai dua gelar sekaligus Shahanshah
(penguasa atas penguasa) dan Sultan. Ia bukan hanya membacakan
namanya dalam khutbah jum’at dan mencetak mata uang atas namanya, ia menyambut
Duta Besar dari Kekhalifahan Fathimiah di Afrika. Periode ini wilayah
kekuasaannya sama luasnya semasa kekuasaan Khalifah Harun (Karim 1972(1):419).
Kemajuan dalam
berbagai bidang memulai sejak periode Mu’iz namun pada era ‘Adz al-Daulah dalam
berbagai bidang terutama ilmu penngetahuan dan kegiatan ilmiah maju pesat yang
mencapai puncaknya. Daerah kekuasaannya meluas dari Ispahan sampai Shiraj dan
dari laut Kaspia sampai teluk Persia. Setelah Mu’iz wafat (983 M) puteranya
memakai gelar Shams al-Daulah dan Shams al-Millah. Terakhir
dijatuhkan oleh saudaranya, Sharf al-Daulah (983-989 M). Sesudahnya ia wafat,
tidak ada Sultan Buwayhia yang cakap semuanya lemah. Pada masa khalifah, yang
ke-25, Qarib bi Allah (991-1031 M), Dinasti Abbasiah terbelah-belah dan
berkeping-keping (Karim, 2006 [2]:24-25). Demikian juga pada masanya kekuatan
Buwayhia menuju ke titik kehancuran. Dengan kelemahan mereka mengundang orang
Saljuq menguasai politik Baghdad pada 1055 M.
Dinasti Saljuq
Dalam sejarah islam
kemunculan Dinasti Saljuq sebagai suatu kekuatan Turki yang berasal dari daerah
yang membentang antara Kirghiztan sampai Bukara. Tughril Beg, cicit dari
pendiri dinasti ini, bernama Saljuq mengalahkan (1037 M) kekuatan Turki cabang
lain, Dinasti Ghazni di Merv, kemudian menguasai Hamadan, Tabaristan, Ispahan,
dan lain-lain. Pada saat yang sama, para khalifah Abbasiah sudah gelisah dan
susah atas perlakuan amir al-umara (Buwayhia) yang puncaknya ketika
Basasiri, panglima perang sultan Baha al-Daulah mengumumkan kemerdekaan di
Ambar. Kemudian mengepung Khalifah Abbasiah di Baghdad, Qaim Billah untuk
beberapa lama. Dalam Khutbah Jum’at membacakan nama khalifah Fatimiah,
al-Mustansir Billah 1035-1094 M, menggantikan nama khalifah Abbasiah tersebut.
Dengan permintaan bantuan dari khalifah Qaim kepada Tughril, maka ia segera
memasuki Baghdad (1055 M) dan membebaskan khalifah, maka dengan suka cita
khalifah memberikan gelar Sultan al-Masyariq wa al-Magharib (penguasa
Timur dan Barat) kepadanya.
Atas restu
Khalifah, sultan-sultan Saljuq sebenarnya menguasai politik, bahkan wilayak
kekuasaannya jauh lebih luas dari pada Khalifah Baghdad secara defacto hanya
berkuasa di istana saja. Semasa Sultan III, Malik Shah 1073-1092 M Wilayah
kekuasaan Saljuq meliputi dari Kashmir di Timur dan Di Barat sampai Laut
Tengah, sedang di Utara dari Georgia sampai ke selatan Yaman. Pada periode
inilah kemajuan dalam ilmu pengetahuan terutama lembaga pendidikan Maju pesat
yang paling Mansyur adalah –diabadikan atas nama pendirinya, Perdana Menteri
Nizam al-Mulk—Madrasah Nizamiah (1067 M), kemudian menjadi Universitas Islam
ternama di Dunia. Setelah Malik Shah (w. 1092 M). Semasa khalifah Muqtadir
(1135-1160 M), terjadi ketidak cocokan dan konflik berkepanjangan antara amir
al-umara, Mas’ud dan Mazar, yang memberi peluang supaya khalifah menurunkan
kekuasaan mereka yang terlalu melampaui batas. Tidak lama kemudian, Mas’ud
wafat, khalifah mengusir semua petinggi Saljuq dari Baghdad sekaligus harta
kekayaannya disita, maka khalifah dapat membebaskan diri dari Hegemoni
kekuasaan Saljuq. Dengan lemahnya para penganti Saljuq, selanjutnya, wilayah
raksasa Saljuq terbagi menjadi 14 Kerajaan Islam, di samping itu, perang salib
juga membawa kekhalifahan Abbasiah sudah di ambang kehancuran, saat-saat itulah
sudah muncul kekuatan-kekuatan Raksasa baru, bangsa Mongol yang mengakhiri
kekuasaan Abbasiah di Baghdad (Hasan,1975: 657-667).
Perang Salib
Sebelum kedatangan
Hulagu, di bagian barat wilayah Dinasti Abbasiah telah terjadi Perang Salib.
Selama terjadi perang tersebut, di Baghdad sedang terjadi keresahan. Sejak 632
M, ada ketegangan antar Kristen dan Islam untuk menguasai Syam, Asia Kecil,
Spanyol, dan lain-lain. Arus Ekspansi Islam yang makin tidak terbendung membuat
mereka gelisah dan ketakutan, jangan-jangan Islam menguasai mereka. Akhirnya,
terjadi Perang Salib membuat dunia Islam menjadi lemah. Ahli sejarah berbeda
pendapat dan memberikan input yang bermacam-macam tentang Perang Salib.
Sejak abad ke-11 sampai -13, dunia Kristen yang penuh dengki dengan Islam
mengumumkan Perang Salib melawan Dunia Islam. Adapun sebab-sebabnya, antara
lain, agama, politukk, ekonomi, (perdagangan), psikologis, dan lain-lain.
Telah disebutkan,
bahwa semasa khalifah Umar I, Panglima Amr Ibn Ash menaklukkan kota Jerusalem
dan Khalifah sendiri menerima penyerahan kota itu secara resmi (638 M). Sejak
saat itu satu per satu wilayah-wilayah kekuasaan Bizantium di Asia, Afrika
Utara, dan Eropa Barat Daya jatuh ke tangan Islam. Atas penaklukan tempat
kelahiran Yesus (Palestina), maka terjadi perubahan besar di dunia Kristen yang
protes keras. Sebenarnya, baik Kristen, Yahudi, maupun Islam, ketiganya sangat
menghormati dan menyucikan kota tersebut. Bagi Islam, kota itu adalah tempat
pemberangkatan Nabi SAW (Bait al-Maqdis) untuk menemui Allah dalam
Isra’-Mi’raj, sedangkan pengikut Nabi Musa dan Daud juga sangat menghormati
kota ini. Meskipun mendapat kebebasan beragama dari Islam, namun mereka tidak
puas.
Pada 1009 M,
Khalifah al-Hakim bi Amrillah, penguasa VI, Dinasti Fatimiah menghancurkan Holy
Sepulchre (Gereja Suci di Jerusalem) dan penguasa muslim Saljuq berdarah
Turki mengganggu dan memperlakukan kurang baik terhadap para penziarah Kristen
yang menuju Jerusalem. Hal ini menyebabkan dunia Kristen di Eropa bingung dan
Marah terhadap Islam. Di samping itu, wilayah-wilayah kekuasaan Raja Alexius
Comnemus di Serang dan di kuasai oleh penguasa Saljuq itu. Ia mengadukan
masalah ini kepada Paus Urbanus II.
Di Eropa (Abad
ke-11 M) pengikut gereja Katolik Romawi dan Gereja Katolik Yunani berselisih
paham. Perselisihan kedua gereja tersebut bertujuan untuk mendapatkan pengaruh
agama dan kekuasaan atas gereja. Gereja Katolik Romawi memberi petuah agar
orang yang pro-gereja Yunani tidak beragama, tidak bertuhan, dan pelaku dosa
besar. Untuk mempersatukan dan menghilangkan perbedaan paham antara gereja
Romawi dan Yunani, Paus Urbanus II dari Gereja Katolik Romawi menginginkan
supaya seluruh orang Eropa mengalihkan perhatiannya untuk menyerang Dunia
Islam. Ia mengajak masyarakat Kristen Eropa dalam pertemuan besar di Prancis
Selatan (26 November 1095) untuk membebaskan tanah suci Jerusalem dari tangan
Muslim. Itulah saat diumumkannya Perang Suci/ Perang Salib. Di Satu sisi mereka
di janjikan surga, di sisi lain juga mendapatkan daerah kekuasaan baru. Oleh
karena itu, Kristen Eropa termasuk 150.000 orang Frank dan Norman berkumpul di
Konstantinopel untuk berperang (Karim 1972 [2]:471-474, Hamka, 1949: 344-355,
Imam Uddin, 1969:174 dan 276, dan Maryam dkk.,2002: 38-140).
Perang Salib yang
berlangsung selama (“1096-1291” M) berabad-abad mengakibatkan dunia Islam
lemah. Inilah salah satu sebab yang membawa Dinasti Abbasiah menuju hingga
tidak mampu mencegah kehancuran pusat peradaban Islam terbesar di Dunia,
Baghdad, baik secara Fisik maupun secara kultur oleh tentara Mongol yang
dipimpin oleh cucu Cenghis, Hulagu Khan (1258 M), dimana banyak orang terbunuh
dan jasad mereka di buang ke sungai Tigris sehingga air sungai menjadi berwarna
merah, kemudian berubah lagi menjadi berwarna coklat akibat banyak sekali
buku-buku tulisan tangan para ilmuwan yang di buang ke sungai (Karim 1972
[2]:471-474, Hamka,1949: 344-355, dan Karim, 2006 [2]:65).
B. Sebab-sebab Kejatuhan Dinasti Abbasiah
Sejak abad ke-7 M bangsa Arab dengan cepat sekali menguasai satu persatu
wilayah kemajuan dunia saat itu sampai mereka pernah menjadi penguasa yang
sangat kuat dimana peta kekuatan Islam melebar sampai Asia, Afrika, dan Eropa
Barat Daya. Kecepatan arus ekspansi tersebut dengan kemunduran Islam (11 M)
lebih cepat dari pada fase ekspansi. Tidak berdaya dengan kelahiran, kemajuan,
dan kehancuran yang di alami manusia, juga terjadi terhadap dinasti Abbasiah.
Ibn Khaldun membatasi keberadaan sebuah dinasti yang bertahan sampai sekitar
100 tahun (Ali,1976: 558). Dinasti abbasiah pun tidak luput dari aturan itu (natural
system). Walaupun dinasti ini berkuasa selama lima abad (750-1258),
kemegahan dinasti ini dalam waktu yang relatif tidak panjang dan bahkan sempat menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tertinggi ketika itu, ternyata akhirnya
kejayaan itu menuju kulminasi, pasca kekuasaan Khalifah Wasiq (842-847 M).
Kemunduran ini, pada akhirnya, Dinasti Abbasiah hancur total dengan serangan
bangsa Mongol ke Baghdad. Adapun faktor penyebab kehancuran Abbasiah,
diantaranya, sebagai berikut:
1.
Internal
Telah disebut bahwa dengan waktu yang relatif singkat
Kaum Muslimin menjadi penguasa di tiga Benua. Semasa Abbasiah wilayah
kekuasaannya meliputi barat sampai Samudra Atlantik, di sebelah Timur sampai
India dan perbatasan Cina, dan di Utara dari Laut Kashpia sampai keselatan,
Teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiah yang hampir sama luasnya dengan
wilayah kekuasaan Dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah
yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju
saat itu menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah
ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu, terjadinya
banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun
dinasti ini mulai mengalami kemunduran. Sementara itu jauhnya wilayah-wilyah
yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian hari didorong oleh para
khalifah yang makin lemah dan malas yang di pengaruhi oleh kelompok-kelompok
yang tidak terkendali bagi khalifah, menyebabkan daerah-daerah satu persatu
lepas. Ada yang merdeka dan ada yang setengah merdeka, ada yang berkuasa secara
mutlak dengan hanya mengakui kedaulatan khalifah, karena kepentingan legitimasi
mereka sebagai wakil khalifah seperti Dinasti Ghazni di Timur. Daerah yang
melepaskan dari kekuasaan Abbasiah misalnya di Barat seperti, diantaranya,
Syiah Idrisiah di Maroko, Umayah II di Andalusia, dan Fatimiah di Afrika. Di
samping itu, catatan Hitti,(2005:617)”...terjadinya disentralisasi dan
pembagian kekuasaan di daerah-daerah selalu mengiringi setiap penaklukan yang
di lakukan tergesa-gesa dan tidak usai. Metode Administrasinya yang tidak
kondusif bagi penciptaan stabilitas negara.”.
Eksploitasi dan pajak berlebihan menjadi kebijakan
favorit yang di bebankan kepada rakyat, tidak terkecuali. Garis perpecahan
antara Arab dan Non-Arab, muslim Arab dan mawali, antar muslim dan dzimmi,
tetap terlihat tajam. Orang Arab sentimen lama Arab Utara dan Arab Selatan
masih tetap ada. Orang persia, Berber, Hamite, Turki, dan lain-lain tidak
pernah berpadu dalam satu kesatuan homogen dengan orang Arab semit. Akibatnya,
muncul disentegrasi antar kekuatan-kekuatan sosial dan kelompok-kelompok moral.
Seiring dengan lintasan waktu/zaman, darah penakluk telah bercampur dengan
darah taklukan, bersama dengan hilangnya kualitas dan posisi dominan yang
mereka miliki. Dengan hancurnya kehidupan bangsa Arab, hancur pula stamina dan
semangat juang mereka (Hitti, 2005:617-618). Hal-hal tersebut juga menyebabkan
wilayah-wilayah yang kaya satu bersatu melepaskan diri dari pusat, berdampak
pula kendornya kekuatan pusat secara drastis yang sangat mempengaruhi keutuhan
bangsa.
Mu’tasim membangun kelompok tentara elit dari Turki
secara terpisah dengan tentara Abbasiah. Akhirnya, mereka begitu berpengaruh
dan dikalangan istana maupun rakyat, maka keperluan khalifah pun tergantung mau
atau tidaknya mereka. Tentara bayaran Turki akhirnya saat khalifah lemah,
merekalah yang pegang kendali kekhalifahan, bahkan untuk mengangkat dan memecat
khalifah pun merekalah yang paling menentukan. Kesewenang-wenangan mereka, maka
membuat gelisah bagi kelompok Arab, Persia, dan suku-suku lain yang memprotes
kekerasan. Hal ini menyebabkan Khalifah Mu’tasim terpaksa memindahkan ibu kota
ke samarra. Kemudian hari pindah kembali lagi ibu kota ke Baghdad. Di samping
itu, seperti orang Arab yang merendahkan non-Arab, dan sebaliknya orang persia
juga tidak memandang orang arab sebagai bangsa yang maju. Perang Amin – Ma’mun
secara jelas membagi Abbasiah dalam dua kubu, yaitu kubu Arab dan Persia. Hal
ini juga mempengaruhi keutuhan Abbasiah (Ali, 1976:559-560).
Kerena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku
menyebabkan sering gonta-gantinya putera mahkota di kalangan Istana dan
terbelahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap
pengangkatan para penganti khalifah. Seperti perang saudara antara Amin –
Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara,
istana, dan elit politik lain yang juga memacu kemunduran dan kehancuran
dinasti ini. Di samping itu, tentara dan lembaga pertahanan keamanan tidak
begitu dapat perhatian dari khalifah juga membuat kekuatan pusat dinasti ini
makin hari makin lemah. Selain itu saat para khalifah yang lemah berkuasa,
provinsi-provinsi menikmati otonomi dan di beri kebebasan dalam hal pertahanan
dan perpajakan. Para wali, amir, dan tentara akhirnya menjadi kuat dan
melepaskan diri dari pusat atau mereka juga hanya mengakui pusat dengan
berkuasa penuh. Sebagai contoh, Khalifah Harun memberikan otonomi dan tanggung
jawab penuh kepada Ibrahim ibn Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah seumur hidup
yang menghasilkan berdiri Dinasti Aghlabiah yang merdeka (Ali, 1976 :569).
Pertentangan Arab-non-Arab, perselisihan antara muslim
dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri telah membawa
kepada situasi kehancuran dalam pemerintahan. Di samping itu, tampilnya
gerakan-gerakan pembangkang yang berkedok keagamaan, seperti orang Qaramithah,
Asasin, dan pihak-pihak lain turut memporak-porandakan kesatuan akidah maupun
nilai-nilai Islam yang bersih di sepanjang masa. Saat itu, kaum muslimin
terbelah menjadi banyak kelompok seperti Khawarij, Syi’ah –Istna ‘Asy’ariah,
Isma’iliah, Assasin, Qaramitah—Sunni, Mu’tazilah, dan sebagainya. Mereka satu
sama lain tidak akui terutama di kalangan elit politik menyebabkan sendi
kekuatan Abbasiah menjadi makin hari makin lemah sampai kehancuaran Baghdad.
Selain itu kaum dzimmi, termasuk Yahudi-Nasara
yang merasa tidak bahagia di bawah kekuasaan Islam, maka mereka selalu berusaha
untuk memusuhinya. Walaupun mereka menguasai jabatan-jabatan penting negara,
namun selalu tidak mendukung khalifah dan Islam.
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang benar-benar
menikmati independensi dari Kekhalifahan pusat Abbasiah, seperti Dinasti
Ibn Thulun dan Ikhsid di Mesir. Bani
Thahir di Khurasan, Bani Saman di Persia dan di ma wara al-nahar (seberang
sungai Oxus), orang Ghazni di Afghanistan, Punjab, dan India, bahkan Bani
Buwaihiah –Syi’ah Itsna ‘Asy’ariah—berhasil menduduki kekhalifahan yang
berpusat di Shiraj, Persia. Setelah Buwaihiah tumbang di gantikan oleh Saljuq
yang Sunni. Hal ini terjadi karena lemahnya kekhalifahan pusat.
Selain agama juga faktor ekonomi cukup dominan atas
lemahnya sendi-sendi kekhalifahan Abbasiah. Beban pajak yang berlebihan dan
pengaturan wilayah-wilayah (provinsi) demi keuntungan kelas penguasa telah
menghancurkan bidang pertanian dan industri. Saat para wali, amir, dan
lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya, rakyat justru makin lemah dan
miskin. Menurunnya kekuatan manusia di sebabkan oleh pertikaian berdarah yang
sering terjadi mengakibatkan lahan pertanian menjadi tandus dan terbengkalai.
Banjir di dataran rendah Mesotopatami, dan bencana alam lain, kadang-kadang
muncul kelaparan dan wabah penyakit yang sangat membahayakan, menelan korban,
lebih dari 40 macam wabah penyakit yang tercatat dalam sejarah Arab selama 4
abad pertama pasca penaklukan. Kehancuran ekonomi nasional tentu saja berakibat
langsung pada turnnya tingkat intelektualitas masyarakat dan mengekang
tumbuhnya pemikiran kreatif (Hitti, 2005: 618).
Dengan adanya independensi dinasti-dinasti tersebut
perekonomian tersebut pusat menurun karena mereka tidak lagi membayar upeti
kepada pemerintahan pusat. Sementara itu, di sisi lain meningkatnya
ketergantungan pada tentara bayaran. Pemakaian tentara bayaran bearti
pengeluaran uang makin bertambah banyak, karena kesetiaan mereka hanya di dapat
dengan uang .Watt,1990:165-167) menyimpulkan, bahwa di antara faktor-faktor
dalam negeri yang utama adalah tiga, yaitu luas wilayah dan sistem komunikasi
masih klasik (sangat buruk), meningkatnya ketergantungan tentara bayaran, serta
hal-hal lain mengakibatkan ekonomi negara sudah bangkrut. Hal terakhir ini
memengaruhi pemerintahan menjadi pincang. Selanjutnya Watt mencatat pula, bahwa
menyempitnya wilayah kekuasaan, karena munculnya dinasti-dinasti kecil yang
memisahkan diri dari pusat. Akhirnya, pendapatan negara berkurang karena mereka
yang semula membayar upeti kepada khalifah tidak lagi membayar. Selain itu,
pengeluaran pun bertambah banyak karena kehidupan para khalifah semakin mewah.
Di samping itu, mereka terdorong untuk melakukan manipulasi dan korupsi. Di
samping itu, faktor yang penting yaitu merosotnya moral para khalifah Abbasiah
pada zaman kemunduran, serta melalaikan salah satu sendi Islam, yaitu Jihad.
2.
Eksternal
Disamping faktor-faktor internal tersebut, ada juga
faktor ekstren yang membawa nasib dinasti ini terjun ke jurang
kehancuran total. Yaitu, serangan bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran
dan penghapusan pusat Islam Baghdad, salah satu faktor utama adalah gangguan
kelompok Assasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M) di pegunungan
Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di
wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di wilayah Islam maupun di wilayah Mongol
tersebut.
Setelah beberapa kali penyerangan terhadap Assasin
akhirnya Hulagu –cucu Chenggis Khan—dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan
mereka di Alamut. Kemudian menuju ke Baghdad. Sebelumnya khalifah al-Mu’tasim
(1242-1258 M) dikirim surat oleh Hulagu agar khalifah bekerja sama untuk
membasmi Assasin. Surat itu jatuh ke tangan wazir al-Qemi, beraliran
Syi’ah, yang tidak ingin kerjasama dengan Hulagu untuk membasmi sekte Assasin,
maka wazir membalas surat atas nama khalifah dengan bahasa yang kurang
baik/kasar yang oleh Hulagu merasa di Hina dan tidak di terimanya, maka dengan
tentara yang banyak Hulagu menyerang Baghdad (Rahman, 1977: 286-290). Khalifah
menolak, sebab tawaran yang datang dari seorang Khan, posisinya tidak sederajat
dengan khalifah. Sikap khalifah Baghdad ini barang kali yang di buat oleh
Wazirnya, al-Qami (al-Qemi), beraliran Syi’ah. Menurut catatan Lewis, setahun
sebelum penghancuran Baghdad, ada konflik dan perang besar terjadi antara
Syi’ah – Sunni di Karkh (Terekh), dimana orang Syi’ah banyak yang di bantai dan
banyak yang di bunuh oleh kaum Sunni
serta rumah-rumah mereka banyak yang di ratakan dengan tanah setelah
barang-barang berharga dirampas (Lewis ,1976 :82 dan Karim., 2006 [2] :65) Hal
ini juga sebab kekalahan Islam di tangan Mongol- Khan. Setelah membasmi mereka
di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Baghdad selama du bulan, setelah perundingan
damai gagal, akhirnya khalifah menyerah, namun tetap di bunuh oleh Hulagu.
Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800.000 orang.
C. Kemajuan
Telah disebutkan, bahwa Khilafah di Baghdad yang
didirikan oleh Saffah dan Mansur mencapai masa keemasannya mulai dari Mansur
sampai Wathiq dan yang paling jaya adalah periode Harun dan Puteranya, Ma’mun.
Istana Khalifah Harun yang identik dengan megah dan penuh dengan kehadiran para
pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Dengan Harun tercatat buku
legendaris cerita 1001 malam. Baik segi politik, ekonomi, dan budaya periodenya
tercatat sebagai The Golden Islam (Ali, 1976 : 504). Berikut
kemajuan-kemajuan dapat di catat sebagai berikut.
1.
Administrasi
Telah disebutkan, bahwa sebelum Abbasiah, dalam
pemerintahan pos-pos terpenting diisi oleh Bani Umayyah notabene bangsa Arab,
namun Pada masa Abbasiah orang non Arab
mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala
pemerintahan dan penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan,
pemimpin sakral. Disebut juga, bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaaati
suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak
masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang
menjalankan tugsnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh hukum Islam untuk
mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana non-militer yang
diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua\ amcam wariz, yaitu, waris yang
memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid)
dan waris (tanfiz) yang
kekuasaannya terbatas. Yang pertama disebut waris utama atau sekarang sama
dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui khalifah,
termasuk mengangkat dan memecat pegawai yang diangkat oleh khalifah. Pada saat
khlaifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir
meningkat tajam. Sementara wazir tidak berkuasa penuh, hanya menaati
perintah khalifah saja (Husaini, 1949: 180-182).
Di samping jabatan wazir tersebut, masih terdapat
dua jabatan penting, yaitu Hajib,
perantara antara rakyat dan khalifah. Saat seorang atau utusan dari mancanrgara
belum menghadap khalifah ia harus mencatat atau memperkenalkan diri kepada sang
hajib yang membawanya kepada
khalifah. Sementara yang kedua adalah jallad,
pelaksana hukuman termasuk hukuman mati(algojo) yang selalu siap dibelakang
khalifah. Jabatan yang terakhir ini baru ada pada
masa Abbasiah, sebelum kamu dikenal oleh bangsa arab yang diadopsi dari Persia
(Husaini, 1949:183-184 dan Ali, 1976:564).
Pada masa Umayah adanaya lima kementrian yang pokok,
disebut diwan,. Selama masa Abbasiah
mereka menambah jumlah diwan di
antaranya yang terkenal adalah sebagai berikut. 1. Diwan al-Jund(wan office), 2. Diwan al-Kharaj (Departeman of Finance).
3. Diwan al-Rasal (Board of Corespondence). 4. Diwan al-Khatam (Board of Signet), dan 5. Diwan
al-Barid (Postal Depatrement). Kelima diwan
yang terdapat di zaman Umayah, disamping itu pada era Abbasiah ada
penambahan diwan diantarantya. 6. Diwan al-Azimah (The Audit And Account
Board). 7. Diwan al-Nazri fi al-Mazzalim (Appeals and Investigation Board). 8.
Diwan al-Nafaqat (the B oard of
Expenditure). 9. Diwan al-Sawafi (The Board of Crown lands). 10. Diwan al-Diya
(The Board of States). 11. Diwan al-Sirr (The Board of Secrecy). 12. Diwan
al-Ard (The Board of Military Inspection). Dan 13. Diwan al-Tawqi (Yhe Board of
Request).
Diwan-diwan baru
yang dibentuk pada periode Abbasiah, antara lain, Diwan al-Syurtha (Police Departement). Kepala polisi disebuh sahib al-Syurtha yang berbeda dengan
zaman Umayah, mereka terbagi tugasnya sesuai dengan kondisi wilayahnya. Tugas
mereka paling utama adalah menjamin dan memlihara keamanan, harta , dan nyawa
masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada di bawah kendali muhtasib. Pada masa khalifah Mahdi
departemen ini diciptakan untuk inspeksi pasar, makanan minuman (polisi yang
bertanggung jawab semacam kepala POM sekarang), memeriksa timbangan, keluahan
pedagang, dan menjaga dari kriminalitas. Sementara Diwan al-Syafawi bertanggung jawab, atas urusan harta kerajaan
(kekhalifahan) dan Diwan al-Diya ditugaskan
untuk urusan kekayaan pribadi kepala negara. semasa khalifah Harun, Dza’fr
menciptakan Diwan al-Nazri fi al-Mazalim,
dimana rakyat dapat mengajukan banding atas ketidakadilan. Sementara semasa
khalifah Mahdi Diwan al-Azimah didirikan
untuk kelancaran roda pemerintahan dan mengaudit kegiatan pusat dan daerah.
Semasa Abbasiah adanya Diwan al-‘Atha
diciptakan untuk khusus mengurusi dan mengatur harta-harta hibah dan
penyimpangan dalam penerimaan dan pengeluaran harta hiabah tersebut. Diwan
al- Sirr mengurusi tentang badan intelijen negara dan termasuk mata-mata.
Selain itu ada juga Diwan al- Akriha
yang mengurusi irigasi, kanal air , dan sinitasi. Demi penerapan keadilan
secara netral, periode Abbasiah menciptakan jabatan Qazi al-Quzzat diciptakan
di mana masalah keadilan ini bertanggung jawab adalah kepala qazi dan petugas
yang melaksanakan disebut ‘adal’. Demi keadilan terhadap dsimi, para pemimpin
agama mereka ditugaskan. Pada era Abbasiah, juga terdapat departemen keuangan
yang pendapatannya dari pajak tanah, pajak penghasilan, jizyah, zakat, bea
cukai, pajak impor, pajak garam, pajak perikanan, dan sebagainya (Husaini,
1949:184-195 dan Ali, 1976:564-565).
Demi kelancaran administrasi wilayah kekuasaan
Abbasiah dibagi dalam beberapa wilayah administrasi yang dapat disebut provinsi
dan masing-masing provinsi yang dikepalai oelh seorang amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggungjawab terhadapnya. Khalifah yang
mengangkat dan memecat atau memindahkan ke provinsi lain. Pada umunya,
pendapatan provinsi untuk provinsi dan sisanya dikirim ke pemerintah
pusat.
Sistem kemileteran, khalifalah yang
memiliki penuh wewenang dengan menciptakan Diwan
al-Jund yang bertanggungjawab kedapanya. Jumlah tentara jauh meningkat
--seperti khalifah Harun tentara tetapi 135.000 orang yang diberi gaji bulanan,
bandingkaan dengan periode Umayah 100.000 orang --. Saat kekuasaan Khalifah
Muktadir 160.000 orang tentara berparade untuk menyambut Duta Besar Bizantium.
Khalifah Mansurlah yang pertama membentuk tentara nasional dan departemen
kemiliteran daerah yang terbagi dalam beberapa wilayah dengan nama sukunya
msing-masingseperti Regimen Mudhar dari tentara Arab Utara dan Himyar dari Arab Selatan, dan
sebagainya. Pendapatan tentara Abbasiah lebih rendah jika dibandigkan dengan
era Umayah , disebabkan jumlahnya era Abbasiah meningkat sedang daerah
kekuasaannya menyempit dibandingkan era sebelumnya. Barangkali ini juga salah
satu penyebab tentara Abbasiah kurang memperhatikan ekspansi dan pertahanan
keamanan, disamping itu terdapat tentara yang fterdiri dari berbagai suku dan
ras yang tidak mendukung pertahanan keamanan seperti periode Umayah dimana
kesatuan bangsa Arab diutamakan dibandingkan dengan Abbasiah justru tentara Persia, kemudian Turki, dan
lain-lain mejadi tulang punggung lkekuasaan. Periode ini terhadap dua macam
tentara, yaitu Murtadjika (reguler
armnya) dan Mutadabbira (irregular : volunteer army). Yang pertama, digaji
dan yang kedua saat perang digajji atau menerima mal al- ghanimah , serta istri dan anak mereka dapat hadiah
(gratuity). Pada saat tidak perang
mereka hanya menerima pangan. (ration).
2.
Sosial
Philip khore Hitti
mencatat, bahwa para sejarawan Arab lebih berkonsentrasi pada persoalan
khalifah Abbasiah, lebih mengutamakan persoalan politik dibandingkan persoalan
lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu memberikan gambaran yang memadai
tentang kehidupan sosial-ekonomi (2005: 414-415). Telah
disebut, bahwa pada masa Kekhalifahan Abbasiah, genggsi kearaban sudah mulai
tampak. Dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali
membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa
Majemuk. Untuk mempelancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan,
lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukkti efektik. Saat unsur
Arab murni surut, orang mawali dan
anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi
Arab mulai digantikan oleh hierarki penjahat yang mewakili berbagai bangsa,
yang semula didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki. Ungkapan perasan
kebangsaan Arab oleh seorang penyair dalam sebuah sairnya berikut ini .
“anak-anak para selir
semakin banyak;
Bawa aku, wahai Tuhan, ke sebuah negeri
Tidak ditempat orang
terkutuk”
(Hitti, 2005:415)
Sama halnya dengan era Umayah,
peran dan kedudukan wanita meningkat. Seperti pria, mereka dapat bebas pergi
kemana saja tanpa dikawal pria, namun kemudian adanya sistem purda (menutup aurat dan tidak boleh
bertemu pria selain muhrim) mengakibatkan kebebasan mereka jauh menurun. Para
wanita yang sangat mempengaruhi politik diantaranya Khaizuran, istri Khalifah
Mahdi , putrinya, Ulayyah, dan
Zubaydah, permisuri Khalifah Harun. Meskipun system perbudakan masih berlaku,
namun pemerintah bersikap mereka dengan penuh kemanusiaan, bahkan sama dengan
Arab. Hal ini factor utama salah sebagian besar istri para Khalifah adalah dari
Persia, Turki, Mesir, dan sebagainya yang awal karir mereka dimulai sebagai
budak, kemudian mencapai posisi sebagai ibu negara. orang azimmi mendapat kebebasan penuh dalam menjalankan aktifitas
keagamaan.
Banyaak macam olah raga termasuk
catur, hoki, polo, pemburuan, dan perlombaan pacuan kuda sangat digemari oleh
khallifah dan para pengeran pada era ini. Khalifah, para pangeran, dan para
pegawai tinggi hidup serba kemewahan. Minuman khmar juga terdapat dalam acara sosial serta acara-acara ulang
tahun mereka. Pada era kemunduran sebagian besar khalifah tenggelam dalam kasyikan dengan para penari dan wanita-wanita
cantik. Khalifah Mansur yang pertama menerapkan topi yang dibuat dari sutra.
Pada umumnya para pemuka agama Islam memakai jubbah dan serban berwarna hitam.
Dengan tingkat sosial atau status seseorang itu diukur dari pakaiannya terutama
wanita istana dan kels tinggi berpakaian mewah.
3.
kegiatan
Ilmiah
Telah disebut bahwa periode
Abbasiah adalah era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
segi pendidikan, ilmu pegetahuan termasuk science,
kemajuan peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa
keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dan kemajuan
peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu
berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada era Abbasiah. Ada bebrapa factor
menyebabkan masa ini dikenal sebagai masa kejayaan intelektual.
Telah disebut bahwa, semula di
Ambar denga pusat politik digunakan di gedung Hasyimiah, ibu kota baru, ;namun
sejak Khalifah II, Mansur memerintah, karena dari ancaman luar terutama dari
kaum Syi’ah dan Rawandiah, maka pusat pemerintahan pindah ke Baghdad. Pindahnya
ibu kota negara dari daerah Bizantium --Damaskus ke Sasaniah Baghdad--,
merupakan kota yang memiliki kebudayaan paling tinggi dan sudah lebih dahulu
mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari pada wilayah Syam
(Ali, 1976: 473). (Karim, 1972:272,277, dan 284).
Di antara pusat-pusat ilmu
pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan,
Fustat, Kairo, al-Madain, Jundeshahpur, dan
lain-lain. Banyaknya cekdikiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan
istana para khalifahh Abbasiah, misalnya Mansur yang banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendikiawan-cendikiawan Persia. Yang terbesar dan banyak berpengaruh pada
mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian, seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada
Khalid ibn Barmak, kemudian anak dan cucu-cucunya, mereka ini –berasal dari
Bactra—dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat,
yang condong pada paham Mu’tazilah. Mereka di samping sebagai wazir, juga menjadi pendidik anak-anak
khalifah (Nasution, 1985-69). Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara
pada masa khalifah Ma’mun (872 M). Mu’tazilah adalah aliran yang menganjurkan
kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang
dalam masyarakat terutama masa awal Dinasti Abbasiah, yang banyak memajukan
kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik dalam penerjemahan
ilmu-ilmu luar maupun dan memadukan dengan ajaran Islam. Inilah factor utama
jasa mereka memlihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui kairo, dan
selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa barat Daya
seperti Seville, Cordova , al-Hamra, dan sebagainya.
Telah disebut, bahwa dengan
diresmikannya aliran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara, maka ada yang
tidak sepaham drngan khalifah mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat
yang mayoritas mengikuti aliran Sunni, Khususnya dengan pelaksanaan mihnah-Nya, suatu ide, bahwa al-Qur’an
itu Hadis – diciptakan. Gerakan Mihnah itu merupakan kebijaksanaan Ma’mun untuk
penelitian keyakinan para pejabat negara maupun ulama, apakah paham Mu’tazilah
yang menyatakan tersebut. Dekrit Khalifah para pegawai dan ulama yang tidak
sepaham dengan pendapat itu akan dipecat dari jabatannya. Ulama yang tetap
mempertahankan pendapat ortodoksnya disiksa, misalnya yang dialami Ahmad ibn
Hanbal dan Abdullah ibn Nuh. Pasca Ma’mun saudaranya , Mu’tashim melaksanakan
wasiat dan kebijakannya untuk melanjutkan mihnah
itu. Ia juga tidak segan-segan menghukup setiap pakar ilmu pengetahuan atau
hakim yang tidak mau mendeklarasikan ajaran tersebut. Kebijakan mihnah ini kemudian berlangsung hingga
pada masa Wastiq memegang tampuk pemerintahan (842-847 M). akibat tindakannya
ini rakyat bertambah benci berada di bawah pimpinannya. Setelah Wasiq,
Mutawakkil (847-861 M) mengubah pemikirannya menjadi terbalik dengan para pendahulunya, dimana
mazhab Mu’tazilah diasingkan dari negara dan kemudian digantikan dengan mazhab
Sunni. Pada masa inilah Mu’tazilah menjadi mazhab yang dimusuhi. Walaupun
aliran ini dimusuhi, namun jasa mereka dalam kegiatan intelektual sangat besar
karena mereka membuka cakrawala pikiran, menggunakan rasio dengan logika-logika
yang tajam yang sangat dibutuhkan guna memahami ilmu-ilmuj lain (Ali, 1976:473
dan Munthoha dkk., 2002: 55-56).
Selain itu, meningkatnya kemakmuran
umat Islam pada waktu itu, menurut Ibn Khaldun, ilmu itu seperti industri,
banyak atau sedikitnya tergantung kepada kemakmuran, kebudayaan, dan kemewahan
masyarakat. Kemakmuran dalam berbagai karya dan ilmu pengetahuan yang dicapai
zaman Abbasiah saat itu, misalnya hikayat Alif
Lailah Wa Lailah,cerita kehidupan mewah pada saat itu (Hasjmi, 1993:48).
Setelah baik wilayah Romawi maupun Sasaniah konversi Islam, dan menjadi pelopor
akulturasi budaya Islam dan local. Hal itu memungkinkan karena dukungan dari
para pembesar lainnya. Para cerdik-pandai –hasil asimilasi-- yang sangat
menonjol pada era itu dikarenakan keistimewaan mereka dalam bentuk tubuh,
kecerdasan akal, kecakapan berusaha, berorganisasi, bersiasat, dan terkemuka
dalam segala bidang kebudayaan (Hasjmi, 1993:48 dan Munthoha dkk., 2002:36-37).
Pribadi beberapa khalifah terutama pada masa awal Abbaiah seperti Mansur,
Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan
sehingga terpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditunjukan kepada
peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu semua, karena permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu
dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli seperti ilmu agama, bahasa, dan adab. Adapun ilmu alqi seperti kedokteran , manthiq,
olah raga, ilmu angkasa luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimuali oelh
umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan uamt Islam,
semasa Abbasiah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan segala bidang.
4. Peran
Pemerintah
Telah
disebutkan bahwa pada masa kejayaan Islam banyak khalifah mencintai dan
mendukung penuh atas aktivitas mereka paling menonjol dan besar melalui penerjemahan yang merupakan
keriatan yang paling besar peranannya dalam mentrasper ilmu pengetahuan. Mereka
menerjemahkan dari buku-buku bahasa asing, seperti bahasa sansakerta, Suryani,
atau Yunani kedalam bahasa Arab yang telah mulai sejak zaman Umayyah. Misalnya,
Khalid ibn Yazid, seorang penguasa pecinta ilmu yang memerintahkan kepadapara
cerdikiawan Mesir atau tang tinggal di Mesir agar mereka menterjemahkan
buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan kimia yang berbahasa Yunani kedalam
bahasa arab (Hasan, 1976:345). Demikian juga khalifah Umar II menyuruh
menerjemahkan buku-buku kedokteran kedalam bahasa arab. Namun penerjemahan ini
menurut umumnya hanya dilakukan oleh yang berkepentingan serta dilakukan
terhadap buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan praktis (Ali,
1976: 570-571).
Jasa-saja
ilmuan Muslim dan ilmu science, serta ilmu-ilmu lain yang tidak ternilai.
Semasa khalifah Abbasiyah, kegiatan-kegiatan penerjemahan tersebut tetap
dilakukan yang berkembang dean pesat, terutama tentang peranan ilmuan India
serta pertukaran budaya Arab-India.
Penerjemah
lainnya yang terkenal adalah Jurjis (George) ibn Bakhtisyu semasa Harun,
penerjemah terus berlanjut dan mulai diterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi untuk membeli manuscript.
Buku yang mula-mula diterjemahkan adalab buku-buku kedokteran dan kemudian
dilanjutkan kebuku-buku pilsafat. Buku-bukutersebut diterjemahkan terlebih dulu
kedalam bahasa Suryani, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia waktu itu,
kemudian kedalam bahasa Arab. Aktifitas penerjemahan mencapai puncaknya pada
masa Ma’mun. khalifah ini juga termasuk cendikiawan yang sangat besar
perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Pada 832 M, Ma’mun mendirikan Bait
al-Hikmah di Bagdad sebagai akademi pertama lengkap dengan teropong bintang,
perpustakaan, dal lembaga penerjemah. Kepala akademi ini yang pertama adalah
Yahya ibn Musawih (777-857 M), seorang
Kristen yang pandai berbahasa arab dan Yunani. Hunain berhasil memindahkan
kedalam bahasa Arab isi kandungan buku-buku karangan Euclide, Galen,
Hipocrates, Apollonius, Plato, Aristoteles, Themitius, Perjanjian Lama, dan
sebuah buku kedokteran yang dikarang oleh Paulus al-Gani dengan bantuan para
penerjemah dari Bait al-Hikmah itu. Penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa
dari bahasa Yunani kedalam bahasa Arab yang langsung dilakukan di Bagdad. Yang
paling menonjol dari kota Harran yaitu Tasbit ibn Qurrah (910 M) dan puteranya
Sainan yang kemudian pindah ke Bagdad. Penerjemahan ini terus dilakukan ukan
sekedar urusan istana tapi urusan pribadi yang gemar dan mencintai ilmu,
misalnya Muhammad, Ahmad dan al-Hasan anak-anak Musa ibn Syakir yang telah
menafkahkan hartanya untuk penerjemahan buku-buku. Musa telah menterjemahkan
buku-buku kedalam bahasa Arab buku karangan Plato, Aristoteles, dan lain-lain.
Yahya al-Batrik ahli bahasa Suryani dan Yunani menyerahkan buku terjemahan dari
Yunani ke Arab kepada kalifah Abbasiyah, kemudian khalifah menyuruh Mu’allim
Tasni, al-Farabi untuk mengedit lagi, karena al-Batik dianggap kurang
mahir berbahasa Arab. Hal ini menunjukan bertapa pemerintah begitu perhatian
dalam memelihara ilmu-ilmu pengetahuan Yunani. Hitti, 2005:454-546, al-Mahmud,
1970:60-69, Nasution, 1985:11, dan Hasan, 1976:346).
Telah
disebutkan bahwa pada sekitar akhir abad 10 M, kegiatan kaum muslim bukan hanya
menterjemahkan bahkan mulai memberikan penjelasan dan melakukan pengeditan.
Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis dan dipadukan dalam berbagai
pemikiran dan petikan, analisis, dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab
dan pasal-pasal. Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu
memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri.
Seperti yang telah dilakukan Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi dengan memisahkan
aljabar dari ilmu hisab yang paa ahirnya menjadi ilmu tersendiri secara
sistematis. Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang tersusun rapi (Hasan,
1976:347 dan Syalabi, 1978:251). Semasa abbasiyah muncul ulama-ulama besar
dibidang ilmu kalam, baik dari kalangan Mu’tazilah maupun ahl-al-Sunnah wa
al-Jamaah. Dari kalangan Mu’tazilah dikenal antara lain Abu al-Huzali
al-Allaf (W.235 H), al Nizam (W.231 H), al-Jahiz (W. 255 H), al-Jubbai (W.290
H) dan abu Hasyim (W. 231 H), sedangkan dari sunni diantaranya (W. 479
H), Al-Gazali (W.505 H), dan al-matruidi (W.333 H) (Abu Zahrah, t. t: 178-185).
Pada
mulanya para ulama memelihara dan mentransper ilmu meeka melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang idak teratur,
kemudian barulah abad ke-7 M, mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak
buku dari berbagai bahasa, meliputi dari berbagai bidang ilmu yang telah
diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan menjadi buku-buku yang tersusun secara
sistematis. Kegiatan itu berjalan melalui tiga periode. Pertama, pencatatan
pemikiran atau hadis atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Kedua
pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadis-hadis Nabi dalam satu buku, misalnya
menghimpun hokum-hukum fikih dalam buku tertentu dan sejarah dalam buku
tertentu pula. Ketiga, penyusunan dan pengaturan kembali buku-buku yang telah
ada dalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu
dan berlangsung pada mas Abbasiah (Syalabi, 1978:234-235). Selain itu
mencatat tentang lagu-lagu, musik dan lain-lain, bahkan menurut cendikiawan
Barat, peradaban Arab sangat mempengaruhi Barat, maka Erofa sangat berhutang
pada Arab (Ali, 1976:570-571).
Diantara
kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiah adalah terdapatnya 4 imam yaitu Abu
Hanafiah, Malik, Syafi’i dan ahmad ibnu Hambal-mazhab fikih yang ulung ketika
itu. Mereka merupaka para ulama fikih yang agung dan tiada tandingannya didunia
islam.
Kitab-kitab
para imam itu yang paling terkenal dan sekaligus menjadi pegangan mazhab mereka
adalah al-fikh al-Akbar karya imam Abu Hanafiah, al Muwathatha karya
imam Malik, al-Umm karya imam Syafi’i dan kitab al-Kharraj karya imam Ahmad ibn Hanbal. Pada masa ini
para ulama fiqih juga telah mulai menyusun ilmu Ushul fiqih, yaitu
kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh setiap orang yang bergerak dibidang
pengembangan hukum islam. Kitab al-Risalah, karya imam Syafi’i merupakan
kitab paling awal dalam ilmu usul fikih ( Muntoha dkk, (2002:42-51). Akitivitas
yang berlangsung pada masa Abbasiyah yang mengantar Dinasti ini mencapai
kmajuan dibidang ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia, kedokteran, filsafat,
matematika, astronomi, astrologi, geografi, sejarah, ilmu-ilmu agama Islam dan
sebagainya. Disamping itu para sastrawan, penyair, musisi, dan lain-lain
menghiasi era Abbasiah.
D. Karakter
khalifah Abbasiah
Seperti
halnya Dinasti Umayyah, setelah berdiri
Dinasti Abbasiah, terdapat karakter dan ciri khas yang istimewa, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1.
Pemerintahan orang
Abbasiah dinyatakan sebagai Daulah(era baru). Khalifah pertama, saffah,
karena tidak dipercaya sama orang-orang kufah yang pernah berkhianat sama cucu
Nabi SAW, Husain ibn Ali, maka ia menggunakan Hammam’Ain sebagai
tempat tinggal di ibu kota Abbasiah, tidak lama kemudian pindah ke Hira,
selanjutnya pindah lagi ke gedung Hasyimiah. Setelah itu wafat, adiknya Mansyur
membangun kota baru di Desa Bagdad. Sejak itu kota tersebut menjadi ibukota
resmi Dinasti Abbasiah. Dengan demikian peran dan pengaruh Arab mulai Damaskus
(Syam) sebagai pusat pemerintahan Islam berangsur-angsur berkurang dan beralih
ke Bagdad yang oleh Bani Umayyah sudah dibangun lebih dari 100 tahun sejak
Muawiyah periode Umar.
2.
Dengan berdirinya
Dinasti Abbasiah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan
dikuasai/dipengaruhi mawali, serta diskriminasi Arab atas mawali hilang.
Dengan demikian, Islam muncul dalam citra Internasional. Orang Persia dan
Khursan yang berperan untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki
jabatan-jabatan tinggi, juga corak pemerintahannya diambil dari system
pemerintahan Persia. Oleh karena itu tepatlah perkataan Sir. J. Wellhausen
dalam bukunya berjudul The Arab Kingdom and its fall:under the guise of
international Islam iranianism triumphed over the Arabs (Rahman,
(1977:129).
3.
Pemerintahan Abbasiah
adalah pemerintahan non-Arab sedangkan pada jaman Umayah adalah Arab murni yang
sangat peka terhadap suku Arab (Quraisy), sedangkan pada periode Abbasiah
disamping orang Quraisy, orang Khursan dan dari daerah-daerah lain elit tentara
sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah beranggapan bahwa
sebagian pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hubungan sacral dan hubungan ini
membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia Islam dan merekalah yang
mendudukan kembali Islam dalam posisi yang benar (Rahman, (1977:129).
4.
Corak pemerintahan yang
mengalami perubahan drastis sejak khalifah Mansur yang menyandang khalifah
Allah, dan pada wakil khalifah dan mereka tidak tergantung sumpah setia dan
pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.
Islam sersebar dengan
ekspansi sejak sebelum Umayah dengan cepat dan pesat, sedang pada masa Abbasiah
satu sisi orang Islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal kehebatan
kemilitran. Disisi lain keutuhan kekalifahan dan persatuan Islam terancam dan
terkoyak, yakni lepasnya Andalusia (756 M) dari kekuasaan Abbasiah dengan
berdirinya Khalifah Umayah II di Andalusia dan kekalifahan Fatimah (909 M) di
afrika.
Puncak
kejayaan daulah ini terjadi pada masa khalifah Harun dan puteranya, Ma’mun
serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Mutawakil. Pada
masa harun, kekayaan Negara yang banyak, sebagian besarnya dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyat seperti mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan
kedokteran, farmasi dan sebagainya. Sementara pada masa Ma’mun ia gunakan untuk
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan
penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing kedalam
bahasa Arab, serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemah dan akademi yang
dilengkapi dengan perpustakaan. Didalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu
seperti, kedokteran, matematika, geografi, dan filsafat. Disamping itu juga
mesjid-mesjid juga merupakan sekolah tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin
ilmu dengan berbagai halaqah didalamnya. Pada masanya kota Bagdad menjadi
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Nasution, 1985: 68-72).
Masya Allah, sungguh kisah yang sangat menarik. sudah lama saya mencari kisah tentang ke khalifahan Abbasiah, izin copas ke web saya ya http://transparan.id
BalasHapus